Mbah Ganjur: Kiai Wadat #1

Ditulis Oleh: Penulis Gabungan*


Ngeroto adalah salah satu desa yang ada di Jawa Tengah, tepat berada di kecamatan Gubug, Grobogan/Purwodadi.

Sebuah desa kecil yang dulunya ditempati oleh para gujarat dari timur tengah yang hidup di masa Wali Songo.

Penulis tertarik menilik kisah-sejarah yang terpendam di desa ini, karena banyak situs atau petilasan Islam yang menunjukkan adanya nilai syiar (penyebaran Islam) yang tinggi. Bahkan seperti yang dilansir di nu.or.id, desa Ngeroto dikenal sebagai desa yang memiliki kontribusi sejarah penyerbuan Wali Songo pada Majapahit.

Memang, menurut redaksi buku “Membaca Sejarah Nusantara” karya Gus Dur, dulunya Ngeroto termasuk wilayah Demak dan sekarang berdiri dengan sebutan Grobogan/Purwodadi.

Pada saat itu, kraton Majapahit yang memperlihatkan reaksi tajam (Hindu-Budha) hingga pernah diserbu oleh pasukan yang didukung oleh Wali Songo, karena saat itu pula telah berdiri kesultanan Demak.

Singkat cerita, yang memimpin pasukan tersebut ialah panglima bernama Abdurrahman Ganjur, bergelar Ki Ageng Ganjur – secara langsung ditunjuk oleh Wali Songo.

Masih dari redaksi “Membaca Sejarah Nusantara”, ada riwayat bahwa melalui pasukan yang dipimpin Ki Ageng Ganjur, kraton Majapahit diruntuhkan. Itu pula tergantikan dengan berdirinya kesultanan Demak yang pertamakali dipimpin oleh Raden Fatah. Sultan pertamanya ini (R. Fatah) adalah masih keturunan keluarga Majapahit. Dalam “Atlad Wali Songo”, yaitu keturunan Prabu Kertawijaya/Brawijaya V. Beliau dikenal sebagai Maharaja Majapahit yang menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan Islam.

Namun dogma atau narasi sejarah di atas diragukan oleh “Atlas Walisongo” karya Agus Sunyoto. Kerajaan Majapahit runtuh akibat serangan pasukan Wali Songo perlu ditinjau kembali.

Sebab kerajaan Majapahit yang bukan Islam masih berdiri kuat di pedalaman. Di sisi lain, Sunan Ampel masih terikat keluarga dengan kerajaan Majapahit. Terutama dengan dongeng serangan Raden Fatah pada Majapahit yang dirajai oleh ayahnya sendiri, sangat jauh dari fakta sejarah – kata “Atlas Walisongo”. Pada intinya, kerajaan Demak hanya dianggap kelanjutan kerajaan Majapahit.

Ki Ageng Ganjur ialah tokoh penyebar Islam di tanah Jawa bernama Abdurrahman. Lahir di Persia. Sejauh penelusuran, belum diketahui tepatnya tentang tahun berapa atau abad kapan syekh Ganjur hidup.

Pastinya, beliau hidup semasa dengan era Wali Songo di tanah Jawa. Konon ceritanya, tokoh ini sampai ke tanah Jawa disebabkan keinginan menyusul-menjumpai ayah beliau yang telah sampai lebih dulu di sana (sebagai pedagang dan penyebar agama Islam). Sehingga syekh Ganjur dan ibu beliau, Nyai Syamsiyah pergi menuju tanah Jawa pula.

Disebut “Ganjur” lantaran keterampilan beliau membuat alat musik (Gong Genjur) – sebuah alat musik pukulan di bawah gong dalam perangkat gamelan, sebagai alat komunikasi dengan pasukan-pasukan beliau yang kurang-lebih sekitar 350 pasukan.

Ada yang menyebutkan nama “Ganjur” merupakan keahlian beliau yang dapat memukul gong (bende; canang) dengan kepalan tangan, bukan dengan kayu atau semacamnya. Hal ini sebagai tanda masuknya waktu shalat untuk para santri – kiranya santri-santrinya Sunan Kalijaga, karena syekh Ganjur (katanya) adalah pelayan utama beliau. Dari cerita masyarakat, pula “Ganjur” disematkan karena keistiqomahan beliau dalam memukul bedug/bende.

Selain itu, syekh Ganjur juga dijuluki dengan Godho Mustoko. Nama ini pula tertera pada papan yang ada di pesarean beliau.

Diperoleh dari kemampuan beliau menempatkan mustoko (sebutan zaman dulu untuk kubah masjid) di pembangunan masjid Demak. Catatan sejarah, Sunan Kalijaga berperan aktif dalam pembangunan masjid Demak, pastinya syekh Ganjur sebagai pengikut Sunan Kalijaga ikut-serta membantu pekerjaan-tugas tersebut.

Saat para wali yang lain tidak mendapatkan kesempatan atau keahlian dalam bidang itu, syekh Ganjur dipercayai dan mendapat amanah dari Sunan Ampel (ada yang menyebut “amanah dari Sunan Kalijaga”) untuk meletakkan mustoko atau kubah tersebut ke atas masjid. Benar saja, beliau mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan tangan kosong – cerita warga Ngeroto.

Dalam cerita lain, Sunan Kalijaga pernah menguji kelebihan syekh Ganjur untuk menunjukkan arah kiblat, saat dimulai pembangunan masjid Demak agar digunakan sebagai patokan.

Akhirnya, beliau dapat menentukan arah kiblat yang benar tanpa keraguan, meski sebenarnya Sunan Kalijaga sudah tahu akan hal itu. Sebagai pengikut setia, syekh Ganjur sering mengaji dan belajar pada Sunan Kalijaga. Dengan rajinnya, beliau sampai melebihi para santri yang lebih dahulu ngaji ke Sunan Kalijaga. Bahkan kadang beliau yang mengisi ngaji untuk para santri yang baru datang.

Setelah dirasa cukup mengaji, syekh Ganjur berpamitan kepada gurunya dan menuju ke daerah hulu sungai Tuntang. Konon, kepergian beliau ini juga untuk menjumpai sang ayah yang lebih dulu di tanah Jawa – sudah dijelaskan di atas. Sehingga syekh Ganjur berada di tanah Jawa bersama sang ibu ingin mencari-cari sang ayah. Kemudian, Sunan Kalijaga menyuruh syekh Ganjur untuk pergi menuju daerah yang ditunjuk, yaitu sebuah daerah/tempat yang dekat dengan sungai Tuntang, di mana lebat dengan (tanaman) gelagah.

Di sana, syekh Ganjur mendirikan gubug yang kemudian disinggahinya. Dulunya, pedukuhan dan daerah tinggal syekh Ganjur itu sepi, hingga sedikit-banyak ada yang berdatangan untuk mengaji ke syekh Ganjur.

Hingga kemudian, terus-menerus semakin ramai oleh warga-warga yang ingin mengaji kepada beliau. Karena itu, pedukuhan ini dinamai “Ngeroto” – berasal dari padang lan roto (cerah dan rata). Juga, dulunya lebat dikelilingi gelagah, tapi sekarang rata dan ramai. Itulah, “Ngeroto” sekarang jadi nama sebuah desa.

Bertahun-tahun, syekh Ganjur mengajar ngaji kepada para santri atau warga-warga di pedukuhan tersebut. Ibu beliau (Nyai Syamsiyah) juga ikut membantu sang putra. Di Ngeroto, mereka hidup berdua bertahun-tahun hingga wafat.

Ceritanya, mereka berdua di sana sekaligus menunggu kedatangan ayah/suami yang masih dalam menjalankan tugas.

Ada yang menyatakan pernah bertemu sekali antara syekh Ganjur dan ayah beliau. Saat syekh Ganjur berkehendak untuk ayahnya tinggal bersama beliau di Ngeroto, namun ayah beliau tidak berkenan dan masih ada tugas penting katanya.

Syekh Ganjur adalah kiai wadat (tidak kawin). Hal ini dikarenakan menunggu kedatangan kembali ayahnya di Ngeroto, juga sibuk mengelola tempat ngaji (pondok) untuk para santri beliau.

Namun, ayah beliau tidak kunjung datang di desa tersebut. Di kemudiannya, ibu beliau sudah tua dan akhirnya wafat. Jenazahnya dimakamkan di pinggiran sungai Tuntang. Beberapa tahun kemudian, disusul oleh anaknya (syekh Ganjur) yang juga wafat.

Jenazah beliau dimakamkan berdampingan bersama ibunya. Lalu, pada saatnya kedua makam ini rata tertimbun lumpur sungai Tuntang, karena sungai Tuntang sering mengalami banjir.

Tetapi kedua makam tersebut ditemukan sekitar dua abad setelahnya. Ditemukan oleh syekh Siradjuddin, kiai yang datang dari Jawa Timur (Madura). Dengan kepandaian yang dimiliki, saat syekh Siradjuddin berjalan-jalan di pinggir sungai Tuntang, beliau mampu melihat dua makam lama, makam mbah Ganjur dan ibu beliau.

Akhirnya makam-makam ini dibersihkan dan beri batu nisan. Semua penduduk Ngeroto diajak merawatnya. Sekarang juga didirikan semacam pendopo di kawasan kedua makam tersebut

Sampai saat ini di Ngeroto, nama beliau (Abdurraahman Ganjur) diabadikan. Terbukti dengan adanya lembaga pendidikan Yaspia (Yayasan Pejuang Islam Abdurrahman Ganjur).

Ada juga di Yogyakarta,  sanggar “Ki Ageng Ganjur”. Di dalamnya, sekelompok generasi muda muslim dari NU. Pembentukan sanggar Ki Ageng Ganjur ini dipelopori oleh aktifis IAIN Sunan Kalijaga. Lalu diberi nama atas saran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1996 dengan sebutan “Ki Ageng Ganjur”.

Demikian mengenang mbah Ganjur yang ahli membuat alat musik. Begitu pun, Ki Ageng Ganjur ini merupakan kelompok yang memprioritaskan seni dan budaya, seperti musik. Sehingga sampai saat ini, dipimpin oleh Zastrouw Al-Ngatawi – budayawan yang sempat pernah sebagai Narasumber di STAI Al Fithrah Surabaya pada event Festival Alit 2020.

Sekarang, kita bisa menjumpai makam mbah Ganjur yang berada di pendopo kecil, samping selatan dari pesantren Assalafi Miftahul Huda yang diasuh oleh KH. Munir Abdullah.

*Ainul Yaqin dan Muhammad Malik

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *