Bulan Suro, Bulan Sial (?) #2

Ditulis Oleh: Penulis Gabungan*

Sebenarnya, anggapan hari sial pada bulan Suro memanglah tidak ada. Latar belakang kepercayaan ini menyebar dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dikarenakan tipologi masyarakat Jawa sendiri yang cenderung manut atas titah kerajaan.

Ketika tidak melakukan titah yang telah dikeluarkan tersebut, ditakutkan akan berdampak pada hal yang tidak diinginkan.

Dalam sejarah Jawa dahulu (dan mungkin masih ada sampai saat ini) yang masih kental dengan sistem kerajaan, sangatlah menghormati segala yang datang dari raja yang memerintah suatu wilayah.

Bagi kepercayaan rakyat Jawa, raja sendiri dianggap sebagai wakil Tuhan atau khalifah untuk memimpin masyarakat/rakyat. Sehingga, hajatan yang digelar oleh raja atau sultan menunjukkan kemuliaan waktu hajatan itu dan tidak boleh dikut-ikuti oleh rakyat selain “raja”. Karena dipercayai “tidak kuat” dan akan “kualat”.

Memang, ada hadis berbunyi “Muharram ialah syahrullah atau bulan Allah” (akan dijelaskan di bawah). Hingga (mungkin) hal ini oleh kepercayaan Jawa disangkut-pautkan dengan “hajatan bulan Suro yang kuat dilakukan oleh raja atau sultan (Kraton)”.

Anggapan ini terlalu berlebihan, jika mendampakkan bulan Suro dianggap sial bagi kalangan rakyat (bukan Kraton). Pendek kata, merupakan salah persepsi atau terlalu berlebihan dalam menilai kekeramatan bulan Suro (apalagi sampai dinilai sebagai bulan sial).

Dalam Islam bulan kesialan seperti Suro atau Muharram tentu tidak
ada. Semua hari adalah baik dan tidak ada waktu atau tanggal
yang membawa celaka pada manusia. Dalam Islam, juga sangat melarang untuk terlalu mengkhawatirkan musibah yang akan terjadi. Karena semua musibah yang terjadi di alam semesta ini merupakan kehendak Allah. Allah SWT berfirman

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22)

Ayat ini menjelaskan bahwa kesialan ada bukan karena hari, waktu, ataupun yang lain. Adanya kesialan yang dianggap sebagai musibah, ketika itu sudah menjadi takdir (ketetapan-Nya). Tujuan adanya musibah supaya manusia tak sedih atas hilangnya kenikmatan dunia yang ia miliki, sehingga manusia selalu positif thingking dan selalu bersyukur atas nikmat dari Allah SWT.

Bulan Muharram atau Suro justru memiliki posisi yang sangat agung. Pada bulan ini, terdapat beberapa peristiwa agung muncul, seperti Nabi Ibrahim as. selamat dari hukuman bakar yang direncanakan oleh Raja Namrud, Nabi Yunus as. dikeluarkan dari perut ikan paus, Nabi Yusuf as. keluar dari penjara raja Mesir, dan peristiwa terbelahnya laut merah untuk menjadi jalan selamatnya Nabi Musa as. beserta para umatnya.

Dilihat dari beberapa hadist yang ada, menjelaskan bahwa bulan Muharram termasuk bulan yang istimewa. Dibuktikan dengan nabi yang mensunnakan berpuasa di bulan ini seperti dalam sabda beliau : “Puasa paling utama ialah setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah, Muharram, Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Ahmad dan Muslim)

            Ada juga beberapa di antara amalan sunnah di Bulan Muharram, yang bisa disebutkan ialah:

  • Celaan mata
  • Puasa sunnah, terutama di Muharram pada tanggal 9 dan 10 Muharram (tasu’a dan asyuro).
  • Bersedekah, terutama memberi makanan untuk berbuka puasa di bulan Muharram.
  • Mengusap kepala anak yatim

Perlu diingat tidak dibenarkan bahwa Muharram (Suro) sebagai bulan sial. Tidak ada pula larangan dalam melakukan aktivitas atau serangkaian acara yang diperbolehkan di bulan Muharram.

Apalagi yang bertujuan untuk ibadah. Seperti pesantren Miftahul Huda yang merutinkan majlis di awal Muharram (setiap tahun). Diadakan oleh para santri dan para pengurus (ustadz) yang jika dipikirkan bahwa nyatanya mereka bukan kalangan Kraton – penyaksian editor di lokasi.

Kesialan bukan berpatokan pada waktu ataupun tempat namun musibah merupakan suatu ketetapan Allah. Terutama, kita tidak boleh mengangap setiap peristiwa adalah kesialan, karena di semua yang terjadi terdapat hikmah/anugerah dari Allah. Semua orang mengalaminya (musibah), tidak hanya di bulan Muharram.

Seharusnya sikap kita di permulaan tahun baru Hijriah (Muharram) ialah menjadikannya momentum awal yang baru untuk intropeksi diri kembali. Buang jauh-jauh anggapan yang tidak benar layaknya mitos yang tidak ada kebenarannya. Hal ini sebagai bentuk komitmen untuk terus berbuat baik setiap saat.

*Nadiyah Azizatus Sa’adah (Mahasiswi Stai Al FIthrah) dan Sofyan Andrian (salah satu redaksi).

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *