Bulan Suro, Bulan Sial (?) #1

Ditulis Oleh: Penulis Gabungan*

Masyarakat memang tidak lepas dari tradisi, ia terus melekat sampai hari ini. Sekian masyarakat Nusantara masih yakin terhadap tradisi atau sistem budaya yang mentradisi dan telah mengkristal sebagai sebuah kepercayaan turun-temurun.

Mereka menganggap orang yang melanggar tradisi tersebut, berarti telah keluar dari sistem yang ada.

Namun ketika Islam datang, secara otomatis tradisi hanyalah diposisikan sebagai karya cipta manusia.

Sepanjang ia tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam, yakni aturan atau nash-nash yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, tentunya masih dibenarkan oleh ajaran Islam.

            Bulan Muharram atau wulan Suro (Jawa) ialah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Penanggalan ini digunakan secara resmi di masa pemerintahan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattāb.

Perhitungannya resmi dimulai dari waktu semenjak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah menuju Madinah. Perbedaan Kalender Hijriyah dan Masehi adalah penanggalan masehi didasarkan pada peredaran matahari (Syamsiyyah) sedangkan Hijriyah didasarkan peredaran bulan (Qamariyyah).

Beberapa masyarakat (terutama Jawa) mempercayai terhadap sebuah tradisi atau yang bahkan biasa dianggap sebagai mitos. Salah satunya, bahwa bulan Suro merupakan bulan kesialan.

Hal ini lantaran mitos yang dipercayai masyarakat Jawa berupa tidak berani mengadakan acara-acara atau pesta di bulan Suro, karena dianggap bisa membawa sial, musibah dan semacamnya.

Kepercayaan itu melekat kuat seolah menjadi tradisi berupa kekawatiran yang dipercayai beberapa masyarakat Jawa. Mereka (masyarakat Jawa) meyakini untuk tidak boleh melangsungkan di antaranya ialah pengadaan pernikahan, pindah rumah dan acara hajatan apapun.

Sehingga dari kepercayaan itu, yang lebih baik ialah berdiam diri di rumah dan ada yang melakukan tapa bisu (tradisi yang biasa dilakukan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta berupa mengelilingi Benteng Kraton Yogyakarta dengan berjalan kaki)

            Bulan muharram, bulan sial? Mitos ini sudah banyak menjadi buah bibir dan mendarah daging dalam masyarakat Jawa. Latar belakang adanya anggapan semacam itu sebenarnya muncul saat Kesultanan Mataram mempunyai hajatan di bulan Suro.

Selanjutnya bagi rakyat, ada kepercayaan tentang adanya sebuah larangan dari Kesultanan Mataram untuk tidak membarengi hajatan tersebut (tidak mengadakan hajatan lain yang juga bertepatan waktu pelaksanaannya), agar rakyat ikut memeriahkan hajatan pihak Kraton (Kesultanan Mataram) tadi.

Lain sisi, ada kepercayaan bahwa yang kuat mengadakan hajatan di bulan Suro hanyalah raja atau sultan. Sehingga, bulan Suro dianggap sebagai bulan hajatan bagi Kraton. Dipercayai, rakyat akan kualat ikut-ikut melaksanakan hajatan yang berbarengan.

Dianggapnya juga sebagai bulan sakral dan keramat, karena pada umumnya, hajatan-hajatan biasa diiringi dengan ritual-ritual mistis. Seperti memandikan pusaka (semacam keris dan selainnya).

Juga mayoritas masyarakat pesisir biasanya membuat bangunan mirip tumpeng berukuran besar dan diisi dengan hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan untuk selanjutnya dibawa ke tengah laut dan dihanyutkan (larung sesaji), dengan maksud untuk menghormati para leluhur.

Dalam buku “Misteri Bulan Suro dalam Perspektif Islam Jawa”, peraturan semacam itu merupakan buah tangan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo  (masa kerajaan Mataram).

Penguasa yang dikenal menaruh perhatian besar pada perkembangan Islam di Jawa. Karena dulunya, berkat jasa beliau, penanggalan tahun Saka disamakan dengan perhitungan penanggalan Hijriah yang diambil dari Islam. Beliau memadukan 1 Suro Saka sama dengan 1 Muharram Hijriah. Inilah yang membuat sampai saat ini, rakyat Indonesia (terutama Jawa) mengenal dan melestarikan penanggalan Hijriah.

Lalu, Sultan Agung sangatlah menghimbau kepada rakyatnya bahwa pada permulaan tahun atau awal bulan hijriyah seharusnya para masyarakat mengisi dengan kegiatan untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq (tapa nyepi), dan tidak boleh sesuka hati berpesta.

            Ada sebagian juga yang mengatakan bahwa bulan Suro/Asyura merupakan bulan kesedihan mendalam bagi ahlu bayt Rasulullah Saw. Pada bulan ini dua cucu kesayangannya, yaitu Sayyidinaa Husain r.a. syahid (wafat) secara tragis di tanah Karbala dan Sayyidina Hasan diracuni.

Tragedi Karbala ini jatuh pada 10 Muharam. Dengan itu demi menghormati bulan sedih ini, ada himbuan untuk tidak boleh mengadakan acara yang memamerkan kemewahan, dengan niat untuk berbela sungkawa atas semua peristiwa keluarga Rasulullah tersebut. Dalam tradisi Jawa, ada istilahnya membuat “bubur Hasan-Husein” – keterangan buku Misteri Bulan Suro dalam Perspektif Islam.

Bersambung_

*Nadiyah Azizatus Sa’adah (Mahasiswi Stai Al FIthrah) dan Sofyan Andrian (salah satu redaksi).

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *