Kyai Ainul Yaqin, Figur yang Enggan Disebut“Kyai”
Ditulis Oleh: Dicky Adi Setiawan*
Nama “Bapak”, merupakan pangilan yang akrab dilontarkan oleh para santri Pesantren Hamalatul Qur’an Jombang, untuk Kyai Ainul Yaqin.
Pendiri Pesantren Hamalatul Qur’an inilah yang meminta sendiri agar para santri memangilnya dengan sebutan “Bapak”.
Panggilan semacam ini tidak seperti pada lumrahnya. Namun, penulis sendiri sedikit telah menyaksikan bahwa beliau merupakan sosok yang sangat tawadu’ dan sabar. Selama menyantri di Pesantren itu, banyak pelajaran yang didapatkan dari beliau.
Aktifitas keseharian Kyai Ainul Yaqin banyak menyimpan hikmah. Hal ini pun pernah penulis (saya) alami. Pada suatu ketika, saya hendak sowan meminta izin kepada Kyai Ainul Yaqin dengan tujuan mengikuti acara Haul Akbar di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Saya tidak sendiri saat itu, tapi bersama kedua teman saya yang berasal dari Bandung dan Jember yang berkeinginan juga menghadiri “Haul Akbar” tersebut.
Pada saat itu, kami bertiga menulis di buku izin dengan alasan yang sama, yakni “izin mengikuti acara Haul Akbar di Pondok Pesantren Al Fithrah Surabaya”. Memang, saya saat itu sudah berjanji untuk mengikuti haul tersebut, sedang kedua teman saya hanya ikut-ikutan saja dengan berpenasaran ingin melihat majlis haul yang ramainya seperti suasana di kota Makkah. Tatkala ketiga buku izin tersebut dihaturkan kepada beliau, saya cukup disenyumi oleh beliau serta secara langsung menanda tangani buku izin saya. Sementara kedua teman saya tadi didawuhi “ sudah, ngaji saja”. Walhasil, mereka (kedua teman saya) tidak diizinkan untuk ikut.
Kyai Ainul Yaqin saat bepergian seringkali tidak memakai kopyah, bahkan hanya memakai celana dan kaos layaknya orang biasa. Penampilan semacam ini secara dhahir terlihat beda, lain dari kyai-kyai biasanya. Kyai Ainul Yaqin adalah figur yang ahli tahajud, ahli al-Qur’an serta memiliki ribuan santri yang hafal al-Qur’an.
Pesantren yang beliau bina pun sekarang sudah bercabang di berbagai daerah. Pada satu waktu, Kyai Ainu Yaqin sempat ditanya oleh salah satu tamu:
“Yai njenengan kok mboten kados Kyai liyone (Kyai kenapa berpenampilan tidak seperti kyai-kyai lainnya)”. Dengan tersenyum, Kyai Ainul Yaqin menjawabnya: “lho lha sinten seng ngangep kulo kyai, kulo naming tukang golek kangkung di pinggir kali (lha siapa yang mengangap saya “kyai”, saya hanya tukang cari kangkung di pinggir sungai – untuk makan para santri saya)”
Pasalnya, memang Kyai Ainul Yaqin dulunya sering mencari kangkung di pinggir kali, sebelum banyak orang-orang yang berdonasi di Pesantren beliau. Karena dari dulu sampai sekarang, yang menyantri di pondok tersebut tidak membayar sepersen-pun, “GRATIS”. Sampai sekarang pun Kyai Ainul Yaqin masih sering melakukan aktivitas itu, yaitu mencari kangkung (sayuran).
Dari situ, sapaan “Bapak” sangat terlihat jelas. Beliau tidak ingin para santrinya bersusah payah dalam urusan biaya. Tidak ingin membebankan para santrinya selain kewajiban menghafal al-Qur’an. Sehingga mewujudkan para santrinya yang bercita-cita agar dapat menyelesaikan hafalan al-Qur’an 30 Juz.
Setiap santri yang pernah mondok di Hamalatul Qur’an, jika berniat lurus (sungguh-sungguh), niscaya dijamin mampu menyelesaikan hafalan al-Qur’an semudah ngopi. Terbukti, ada yang dapat menyelesaikan hafalan al-Qur’an 30 Juz dalam jangka 1 tahun.
Bahkan jika lebih dari itu, merupakan aib bagi para santri yang mondok di pesantren tersebut. Karena rata-rata yang khatam adalah 9 atau 10 bulan dan paling lama ialah hanya satu tahun. Tidak hanya itu, ada yang mampu menyelesaikan dalam hitungan 3,5 bulan (santri awal-awal dari Malang yang bernama Fuad). Kabar ini cepat tersebar di kalangan masyarakat sehingga banyak yang berdatangan untuk menyantri, dari berbagai daerah, kota maupun propinsi di seluruh Indonesia.
Pada umumnya, para santri di pondok Hamalatul Qur’an dididik agar yakin terhadap al-Qur’an sendiri, “al-Qur’an sebagai teman sendiri”. Serta yakin terhadap metode menghafal yang disampaikan. Banyak kisah tersendiri bagi santri-santri baru yang tidak yakin terhadap metode dan perkataan (jawa: dawuh) Kyai Ainul Yaqin. Menurut penulis, hal inilah yang menyebabkan kelamaan dalam menyelesaikan hafalan. Beliau pun seringkali berkata: “kalau udah terjun di sini, maka diyakini dan diseriusi. Karena kalau ada keingingan, pasti hasil”.
Adapun metode yang digunakan pondok Hamalatul Qur’an ialah Metode Habituasi (pembiasaan). Artinya, para santri dibiasakan untuk berinteraksi dengan al-Qur’an di setiap waktu. Mulai dari muroqobah/fami bisyauqin (membaca binnadhor bersama-sama per hari 5 jus dengan khatam dalam jangka 7 hari ), sholat Tahajud dan Dhuha dengan bacaan ½ Juz, sholat Jama’ah dengan makro’, tartilan 1 Juz setiap selesai sholat Dhuhur dan Asar, fashohah dan beberapa kegiatan lainnya. Tidak lain kegiatan tersebut merupakan semata-mata proses interaksi para santri (pembiasaan) dalam menghafal al-Qur’an.
*Mahasiswa STAI Al Fithrah Surabaya. Program Studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir. Berasal dari Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.