Kiai Hamid Mengakui Kefaqihan Kiai Asrori Al Ishaqi
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin
KH. Achmad Asrori al-Ishaqi adalah sosok figur/pribadi yang istimewa. Dikenal dengan akhlak mulia dan sikap ke-tawadlu’annnya.
Pendiri Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ini merupakan seorang mursyid thariqah Qadiriyah wa Naqasyabandiyah Utsmaniyah.
Thariqah yang digariskan melalui silsilah thariqah yang didapatkan dari ayahnya sendiri, KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi. Kyai Asrori dibaiat sebagai mursyid oleh ayahnya.
Sedang ayahnya, Kyai Sepuh dibaiat oleh KH. Ramli al-Tamimi dan setarusnya sampai pada syekh Khatib as-Sambasi, sampai pada syekh Abdul Qadir al-Jilani bahkan sampai pada Rasulullah SAW.
Khalayak umum sangat mengenal sosok Kyai Asrori sebagai figur yang harum dengan akhlak mulianya, tutur katanya yang lembut, keteladanan dan keistiqamahannya dalam melestarikan amaliah.
Dakwah dan syi’ar Kyai Asrori seringkali mengungkap tentang seputar penyucian jiwa, kedekatan kepada Allah Ta’ala dan semacamnya yang menyejukkan begi setiap jiwa dan hati yang menyimaknya. Hingga mereka merasakan kenikmatan dan semakin memperkuat rasa dan pikiran untuk senantiasa mendekat kepada Allah Ta’ala, Sang Pencipta segalanya.
Semua karakter dan sifat-sifat semacam ini oleh literatur-literatur Islam diartikan bahwa Kyai Asrori merupakan tokoh sufi (sekaligus pakar tasawuf). Khalayak publik pun memang banyak yang mengartikan demikian. Kendati-pun, sebenarnya tokoh ini juga boleh saja dibilang pakar bidang Fiqh. Pasalnya, banyak kisah yang melukiskan mengenai ke’aliman Kyai Asrori dalam persoalan Fiqh.
Salah satunya ialah kisah Kyai Asrori dengan Kyai Hamid. Keakraban Kyai Hamid dan Kyai Asrori ini adalah sudah wajar. Bahkan Kyai Hamid menganggap Kyai Asrori layak putranya sendiri. Kyai Hamid yang dimaksud adalah KH. Abdul Hamid yang kediamannya di Pasuruan.
Lantaran sayangnya Kyai Hamid terhadap Kyai Asrori, biaya pemberangkatan Kyai Asrori untuk menunaikan haji hendak ditanggung olehnya (Kyai Hamid). Hingga akhirnya, saat Kyai Asrori ditanya oleh ayahnya (Kyai Sepuh) mengenai biaya haji, Kyai Asrori menjawab “dari anugerah Allah dan barakahnya Buya serta hamba-hamba Allah yang shalih”
Kemudian, saat di tanah suci/Makkah untuk menunaikan ibadah haji, pada satu waktu Kyai Asrori bersama Kyai Hamid yang saat itu hendak melakukan mandi. Hingga Kyai Asrori pun bergegas untuk menyiapkan perlengkapan mandi, termasuk yang dibawa olehnya ialah sabun wangi.
Karena saat itu Kyai Asrori di sana juga menyediakan “sabun wangi”, lantas Kyai Hamid pun berkata: “saya sedang ihram, Gus!” Lalu, Kyai Asrori menjawabnya dengan sederhana “Kyai, jangan lihat wanginya. Lihatlah, sabunnya”. Kyai Hamid pun tersenyum sambil mengakui ke’aliman Kyai Asrori.
Dalam catatan Muhamad Musyafa’, salah satu larangan bagi orang yang sedang ihram, baik laki-laki dan perempuan ialah memakai wangi-wangian. Kisah ini oleh Muhammad Musyafa’ dalam disertasinya, boleh-boleh saja atau tidak dilarang menggunakan “sabun wangi”.
Wewangian yang dimaksud di sini ialah suatu yang tampak jelas tujuannya untuk wewangian, seperti minyak misik dan semacamnya, parfum. Sementara yang tidak tampak jelas tujuannya untuk wangi-wangian, maka tidak dilarang. Seperti mandi dan membersihkan tangan dengan sabun.