Syariat dan Hakikat: Dualitas dalam Satu Wadah
Ditulis Oleh: Rizka Rahayu
Di antara hamba-hamba Allah, ada yang beribadah secara fisik kepada Allah. Mereka gemar shalat, dzikir, puasa, sedekah, dan aneka ibadah fisik lainnya dengan instensitas tinggi.
Tetapi ada pula orang-orang yang digariskan oleh Allah dapat beribadah tidak hanya sebatas fisik, tetapi sampai pada taraf mencintai dan merindukan-Nya.
Meskipun kedua kelompok ini memiliki derajat berbeda tetapi tetap saja, semua bernisbah dan berkhidmah kepada Allah sebagai Tuhan. Kita tidak boleh meremehkan salah satunya.
Seperti yang telah dikatakan oleh Syekh Ibnu Ajibah, perbedaan derajat mereka di sisi Allah itu bukan alasan bagi kita untuk merendahkan salah satunya.
Yang terdapat dalam Surah Al-Isra ayat 20-21 ini sering terlupakan bahwasannya kita kerap mengagungkan salah satunya maupun meremehkan yang lain.
Dalam al-Risalah Qushairiyyah, dijelaskan bahwa syari’at adalah haqiqat dan haqiqat juga merupakan syari’at. Sebagai perkembangan dalam dunia Tasawuf, sudah wajar terbentuknya istilah-istilah dalam kajian ini.
Tetapi, para sufi dari generasi ke generasi tetap melestarikan tata krama yang diwariskan Rasulullah SAW. Sehingga, mereka mengikuti perkembangan pemikiran disertai ajaran Tasawuf mereka tidak menyalahi sumber awal, Rasulullah SAW,
Mereka, kaum sufi selalu melestarikan statement syari’at dan haqiqat tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling menguatkan dan menyempurnakan satu sama lain.
Para ulama’ sering kali mengistilahkan syari’at dengan sebutan aspek amaliah yang diekspresikan melalui anggota tubuh dzahir.
Imam al-Qurthuby mendefinisikan syari’at ialah berbagai hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada para hamba-Nya, baik sesuai garis syari’at dalam Al-Qur’an ataupun sunnah Rasulullah SAW.
Haqiqat sendiri menurut para sufi merupakan aspek bathin, yaitu kebalikan dari aspek dzahir. Penjelasan ini hanya dapat dipahami melalui perspektif Sufiyah. Karena haqiqat merupakan aspek qalb/hati yang bersifat ruhani bukan i’tiqad.
Maka, ketika direalisasikan dalam ibadah, seakan melihat keagungan Allah dalam beribadah kepada-Nya.
Ulasan ini perlu kiranya bagi penulis untuk dijelaskan. Karena kita tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dunia ilmu Tasawuf yang meletakkan beberapa istilah dan hanya dimengerti oleh setiap yang serius menekuni kajian ini.
Semisal, meski hakekatnya syari’at ialah haqiqat, namun kita tidak lepas dari garis bahwa kedua istilah ini mengalami pemilahan.
Kyai Asrori dalam al-Muntakhabatnya pun mengakui hal ini. Memilah syari’at dan haqiqat, namun tetap menurutnya merupakan satu-kesatuan.
Ada sebuah ulasan yang mendorong penulis untuk menambahinya. Dalam ulasan dengan judul “Kacamata Lain Untuk Nabi” (yang dipost di percik.id pekan kemarin), tertera pernyataan: “Di kalangan ulama’ syari’at atau ma’rifat, titik dibawah huruf ba’ diartikan ……”.
Narasi ini menumbuhkan makna sedikit berbeda. Kiranya, menarasikan “ulama’ syari’at” dan “ulama’ ma’rifat” dalam satu makna. Mungkin, alangkah baiknya, jika kata “atau” dinarasikan dengan “ataupun” atau “maupun”
Menelusuri karya al-Muntakhabat-nya, dinarasikan dengan “antara ulama’ syari’at dan haqiqat”.
Di situ, Kyai Asrori juga mengakui pemilahan tersebut meski berkesimpulan pada arti satu-kesatuan/saling menguatkan. Tetapi sepertinya, keistimewaan narasi teks kaum sufi ialah setiap susunan gramatikanya yang penuh dengan makna dibaliknya. Sehingga diperlukan kehati-hatian untuk memaknainya – maap, tambahan editor.
Mengenai hubungan syari’at dan haqiqat, Kifayat al-Atqiya’ memberikan contoh yang bersifat menguatkan dan menyempurnakan. Contohnya, seseorang yang hanya memperhatikan haqiqat tanpa syari’at, ia akan berujung untuk tidak memerlukan shalat. Sementara yang memperhatikan syari’at tanpa haqiqat, ia akan berujung beribadah hanya karena berniat menggapai surga, tidak semata karena Allah.
Ada sebuah keterangan lain mengenai perumpamaan syari’at dan haqiqat. Syari’at diumpamakan sebagai pintu masuk. Sedangkan haqiqat diumpamakan dengan rumah atau apa yang didapatkan setelah melewati pintu masuk. Demikian selaras dengan firman Allah:
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
“bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.” (QS. Al-Baqarah: 189)
Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan aturan bagi orang-orang yang ingin menemui (mendekat) kepada Allah. Akhirnya, lanjutan dari kandungan ayat ini ialah bahwa tidak boleh memasuki haqiqat kecuali melalui pintu syari’at.
Jadi, haqiqat merupakan kebalikan dari syari’at, bukan berarti kedua unsur ini terpisah. Karena dalam pandangan-pemikiran para sufi, selalu menyebutkan dua istilah ini dalam satu pembahasan. Hal ini mengisyarahkan bahwa syari’at dan haqiqat itu senantiasa bersamaan dan saling berkaitan satu sama lain.
Gaya beribadah seorang sufi akan terus dijumpai di dalamnya syari’at dan haqiqat. Walaupun, sebenarnya jalan menuju Allah itu sangat dekat, mengikuti yang terkatup dalam haqiqat. Tapi, memegang teguh syari’at sebagai formalitas keabsahan ibadah – dengan mengikuti aturan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak dapat dilepas.
Ringkasnya, syari’at sebagai wadah terealisasinya haqiqat. Sedangkan haqiqat adalah semacam kesungguhan, keikhlasan dan segala hal perilaku qalb dalam melangkah di jalan menuju Allah.
Perilaku qalb (haqiqat) hanya dapat terwujud dalam wadah zahirnya (syari’at). Oleh karena itu, bangunan ibadah bergaya sufi hanya dapat sempurna dengan adanya kedua unsur ini, dualitas dalam satu wadah (beribadah), bukan salah satunya.