Imitasi dalam Tasawuf
Ditulis Oleh: Muhammad Zakki
Belakangan istilah tasawuf begitu booming ke publik. Konten kegiatan maupun tulisan yang mengangkat tema tasawuf begitu mudahnya dibaca di media masa yang dikemas dengan asyik.
Tasawuf seperti mampu memberi penyegaran atas keadaan dunia yang telah sedemikian panik. Para pengamatnya mencoba menggali esensi tasawuf dalam berbagai kehidupan manusia dan menyajikannya secara apik.
Mereka menghubung-hubungkan beragam problematika kehidupan manusia ke dalam tasawuf, sehingga mencitrakannya sebagai ajaran yang unik.
Dipaksakannya tasawuf menjadi topik inti dari setiap sisi perjalanan hidup yang mengandung nilai historik, juga klenik. Akibatnya bahasan-bahasan tasawuf tidak menduduki posisinya dengan baik. Tasawuf mengalami duplikasi yang kian pelik.
Imitasi tasawuf semacam ini telah lama dibaca oleh salah seroang murshid di Jawa Timur, Kiai Asrori.
Tak heran jika beliau lebih suka agar tasawuf ini tidak terlalu laku di pasaran dan menjalani hidupnya yang tersembunyi, supaya tidak diduplikasi.
Pada masanya, beliau telah menangkap adanya praktik dari sebagian oknum yang menginginkan dirinya duduk di kursi menggiurkan sebagai murshid, meski dari atasan belum turun lisensi.
Berbeda dengan kisah beliau sendiri. Pada mulanya, ia tidak berkehendak, tetapi di kemudian ia merasa perlu untuk siap duduk begitu atasan/gurunya akan kembali ke pangkuan Ilahi.
Para pihak mendorong diri beliau agar didaulat sebagai guru besar tanpa harus menjalani proses akademik atau dengan tanpa melalui jalur yang telah disepakati.
Namun yang dilakukan oleh beliau ialah tidak mengamini. Karena hal ini berakibat pada kaburnya pemaknaan tasawuf sebagai ajaran yang disampaikannya ke sana kemari.
Pengaburan makna tasawuf dan ke-naikdaunnya memang menyimpan sisi baik dan buruk tersendiri.
Sebagai umat Islam, kita patut bersyukur bahwa tasawuf terangkat ke permukaan dan dikenal secara luas oleh penduduk bumi, namun di sisi-sisi lain kita juga mesti curiga dan berhati-hati kalau para penyampainya tidak lagi didasari oleh rasa cinta sama sekali.
Tasawuf yang disampaikannya telah disisipi oleh kepentingan manusiawinya demi memperkaya diri. Dakwah dan perluasan pemahaman tentang tasawuf oleh mereka turut mengotori kampanye orang-orang yang berusaha mengibarkan panji tasawuf di bumi ini. Dari sini tasawuf menghadapi tugasnya untuk kembali fitri dan murni.
Demi memurnikan tasawuf ini, muncul seorang tokoh yang berupaya mengembalikan Islam kepada pondasi pokoknya, yakni memeluk erat kemurnian syariatnya.
Bagaimanapun, tasawuf adalah sisi tak kasat mata dari tubuh Islam yang sangat sulit mengidentifikasinya.
Esensinya tak jauh berbeda dari hanya amalan kebatinan yang justru menodai agama yang bermisi menjadi pagar atas kebrutalan hati manusia.
Adalah KH. Hasyim Asy’ari, seorang tokoh pelopor berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) yang di antara kitabnya beliau menyayangkan penyelewengan yang terjadi pada jalur tasawuf yang semestinya.
Berhubung tasawuf berkaitan erat dengan unsur tak terdeteksi dari perbuatan manusia, tak disangkal jika di kemudian hari bermunculan sekelompok oknum yang mengaku telah menguasainya.
Mereka menyatakan diri telah menjalani serangkaian ajaran tasawuf secara sempurna. Meski secara lahiriah bertentangan dengan norma dan nilai agama. Mereka mengaku hati mereka berseberangan dengan keburukannya.
Ia melakukan hal itu dengan hati yang telah tertuju mapan kepada Tuhannya. Ini jelas merepotkan orang-orang dalam menilainya. Fenomena semacam ini juga tidak lama akan meruntuhkan pondasi beragama yang telah dibangun sejak lama.
“Semua orang punya jalan sufinya masing-masing” demikian salah satu di antara wujud pernyataannya.
Secara tekstual pernyataan ini jelas akan digunakan sebagai senjata untuk membela dan membenarkan segenap perilakunya.
Ia tidak menjalani ibadah-ibadah dalam agama yang dinilainya sebagai formalitas belaka, dengan berargumen bahwa dirinya mampu menjalani laku tasawuf anti mainstream yang tidak dilakukan manusia-manusia biasa.
Pernyataan ini memang terkesan sangat halus jika dibandingkan ungkapan syatohat sufi-sufi nyeleneh terdahulu, seperti Abu Yazid al-Bustami ataupun al-Hallaj sekalipun.
Menghindari kerusakan yang lebih parah, para ulama pada masanya bahkan sampai hati menjatuhkan vonis mati sebagai pelajaran bagi siapapun. Bukannya berakhir, di kemudian hari paham semacam ini masih juga terkembang dengan pola yang tidak berubah sedikitpun. Ketika cinta telah menghujum, sikap dan perilaku memang kadang tidak lagi mampu dituntun.
Namun bukan berarti cinta telah benar-benar membuat perasanya menjadi buta. Kebutaan hanya dialami oleh orang-orang yang tak mampu mengendalikannya.
Cinta adalah sesuatu yang niscaya pada diri seorang manusia, namun tidak bermakna bahwa manusia boleh dikuasainya. Tujuan penciptaan akal di samping hawa nafsu adalah demi membentengi agar kecintaan yang tumbuh mampu dibatasi dengan kadar yang semestinya.
Lha, tasawuf sendiri sebagai bagian dari tiga pondasi yang mengokohkan Islam tidak bisa dilepaskan dari pada Rasulullah Saw.
sebagai pembawa risalahnya. Tidak dibenarkan keislaman seseorang yang menciptakan jalan tersendiri dalam menjalani laku tasawufnya, apalagi sampai benar-benar melenceng dari ajaran agama.
Tidakkah kita mencoba dan berusaha sekuat tenaga untuk bersikap sebagaimana Rasulullah Saw. dengan senantiasa berusaha keras menerapkan Islam, iman dan ihsan dalam lingkup keseharian kita, sesuai jalan di mana Rasulullah Saw. memijakkan kaki-kakinya.
(MHz)