Musik Bukan Satu-Satunya Instumen Suluk

Ditulis Oleh: Muhammad Zakki

Sumber gambar: nasional.okezone.com

Tulisan ini berusaha berkomentar atas tulisan sebelumnya di website ini, atau lebih tepatnya memberikan tambahan. Ainul Yaqin dalam ‘wacana’ yang terbit pada 28 Juni 2020 selaku penulis memberikan penjudulan yang cukup menantang dengan bertesis bahwa musik mampu menjadi instrumen suluk menuju kepada Allah. Jelas secara judul akan cukup mengaburkan pembaca jika dibaca secara sekilas, apalagi oleh orang-orang fikih yang literal, sehingga perlu lengkap dan jeli membacanya. Di sini yang perlu diperhatikan ulang adalah apakah benar demikian?

Baca…

Ber-Suluk (Mendekatkan diri Kepada Allah) dengan Instrumen Musik

Pasalnya jika musik-nya yang dijadikan patokan kemudian melepaskan unsur bacaan yang dilantunkan sebagai esensi, tentu akan berpotensi pada hasil yang berbeda. Misalkan, nada ataupun keharmonisan bunyi sebagai bagian dari musik yang terdengar adalah bukan terjadi karena bacaan-bacaan dzikir, maka yang terjadi adalah goyangan dan getaran yang tidak diharapkan sebagai ‘kewushulan’ hakiki, sehingga melepas musik dari unsur dzikir sebagai instrumen utamanya adalah ‘titik hitam’ dalam melegalkan keharaman musik. Bukan bermaksud melakukan kategorisasi hitam putih atas fenomena ini, namun bagaimanapun ber-tasawuf sudah semestinya menjadikan fikih sebagai landasannya. Imam Malik telah menegaskan ini. Dalam perjalanan sejarah, sebagaimana termaktub dalam manaqib chapter empat, bahwa ada tujuh puluh tokoh tarekat yang pernah terkena tipu daya setan, di mana mereka melegalkan hal-hal terlarang secara sangat halus sekali, dengan alasan kemulian kedudukan yang telah mampu mereka capai.

Dari paragraf di atas jelas bahwa antara dzikir dengan musik bukanlah satu kesatuan, melainkah musik hanyalah ‘alat bantu’ dalam mengemas prosesi dzikir menjadi lebih khidmat dan menarik minat banyak orang yang memiliki kecenderungan menikmati alunan irama. Dalam kaidah baca al-Qur’an pun demikian. Yang menjadi patokan minimal dalam sistem baca al-Qur’an –untuk menghasilkan pahala ibadah darinya- adalah memberikan setiap huruf sesuai dengan haknya masing-masing, yang dihimpun dalam kaidah tajwid, sedangkan posisi tartil dan tahsin adalah sebagai pengembangan untuk menuju keutamaan yang berlipat lebih.

Dalam kasus dzikir yang disertai dengan irama sendiri tidak ada masalah serius sebenarnya. Hanya saja keberadaan musik tidak seharusnya merusak kaidah tajwid yang berlaku dalam bacaan dzikir untuk menyelarasinya, karena justru berpotensi merusaknya. Dzikir yang dilakukan dengan tatacara yang benar dan ‘benar-benar’ berdzikir maka itu akan membuahkan ketenangan hati sebagai telah dijanjikan-Nya dalam QS. Al-Ra’du 28.

Sedangkan dalam praktik yang telah dituntunkan dalam Al Khidmah menunjukan bagaimana teknik Kiai Asrori dalam memperkenalkan majelisnya. Akan tetapi orang-orang yang hanya berfokus pada irama bacaan saja, bukan dalam berdzikirnya, maka ia tidak akan benar-benar memperoleh ketenangan hati yang abadi, melainkan ‘kenikmatan sesaat’, buktinya seusai prosesi dzikir selesai kebanyakan kita kembali asyik masyuk dengan hidangan nasi talaman yang disediakan. Perasaannya plong dan menganggap segalanya telah usai.

‘Kemunafikan’ semacam ini lazim dilakukan manusia. Handzalah dan Abu Bakar adalah dua sahabat yang paling peka merasakan kejanggalan ini, sehingga keduanya menyowankannya kepada Rasulullah. “Sungguh saya ketika berada dalam majelis bersama Engkau mampu berdzikir, namun begitu pulang, semuanya beralih pada ‘beban dunia’ yang menjadi tanggunganku” sambat keduanya. Rasulullah pun memotivasi “Pelan-pelan” katanya, “Teruskanlah ber-istikamah dalam majelisku, niscaya para malaikat akan menyertaimu, dan engkau akan selalu diliputi ‘kepekaan’ menghadap-Nya” wasiatnya.

Di sini pesan yang hendak saya sampaikan adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri bahwa musik, kombinasi nada atau harmonisasi suara bukanlah final instrumen dalam ber-suluk. Terlalu berani untuk berstatemen seperti ini. Sehingga lagi-lagi yang ingin saya tampakkan di sini adalah unsur dzikir itu sendiri. Andai hati pribadi kita tidak mampu berdzikir, maka terdongkrak oleh orang-orang saleh di sekitarnya, yang menunjukan istimewanya berjamaah. Buktinya, tatkala berdzikir sendiri akan merasakan hambar meski diiringi ‘musik’ seindah apapun yang kita usahakan.

Secara khusus, rangkaian tawasul sebelum Istighatsah yang berlaku dalam Al Khidmah menghadiahkan fatihah kepada semua jamaah yang hadir (ilayna al-hadlirin ajma’in) setelah penyebutan Kiau Utsman dan Kiai Asrori dalam dua sesi terpisah. Dari sini para jamaah secara khusus mampu mendapatkan aroma ‘taman surga’ yang bergemericik ketika majelis dzikir berlangsung sehingga bisa menangkap syahdunya berdzikir dalam kerangka berjamaah. Apalagi dalam kesempatan yang lain, dalam narasi doa yang dibacakan imam, ataupun nasyid yang dibawakan oleh pembaca, juga turut menggandeng para jamaah yang hadir dengan mempergunakan kata ganti ‘kita’ dalam berbagai doa yang disampaikan, sehingga secara tidak langsung -dalam arti kata meski tidak khusyu’ mengikuti bacaan-, semua yang hadir dalam majlis adalah diberangkatkan secara bersama-sama untuk wushul kehadirat Allah.

Dalam catatan shalawat al-Mudlarriyah yang biasa diamalkan oleh para pengikut tarekat Awaliyah ataupun beberapa keluarga besar pesantren salaf dicantumkan lantunan doa yang memohonkan doa ampunan bagi orang-orang yang mengikutinya dengan ikut membacanya, maupun yang hanya menyimak dan mendengarkannya saja. Tentu ini adalah kesempatan baik bagi umat muslim untuk terus bernaung dalam kerangka jamaah dan memetik banyak faidah di dalamnya.

Dari segenap penjelasan di atas kita tangkap kesimpulan bahwa dalam sebuah majelis dzikir, unsur ke-ingatan kepada Allah-lah yang tetap memegang peran utama, sedangkan irama, jamaah, suasana lokasi, keharuman suasana dan berbagai fasilitas yang dipersiapkan untuk membuat kenyamanan bagi para jamaah yang menghadirinya, adalah bentuk ‘tiang-tiang penyangga’ dalam menuju-Nya, sementara dzikir ini sendiri adalah kaki-kakinya, dan dalam wadah berjamaah seseorang yang cacat kakinya akan dibantu oleh mereka yang kuat pijakan kakinya dalam menaiki tangga menuju-Nya.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud menciptakan ‘jurang hitam putih’ dalam berislam. Yang jelas, selain dalam berfikih, tasawuf dan termasuk juga tarekat tidak bisa berlepas dari khilafiah dalam pemberlakuan amalannya. Islam menilainya sebagai buah kasih sayang (rahmat) bagi sekalian alam dengan catatan sebagaimana diungkapkan Imam Syathibi dalam Al-Muwafaqat-nya yang dikutip Edi AH Iyubenu dalam Beginilah Islamku halaman 23 sebagai berikut:

“Setiap pemasalahan yang terjadi dalam ajaran Islam, kemudian melahirkan perbedaan pendapat antar sesama penganutnya, akan tetapi tidak sampai menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kita simpulkan bahwa perbedaan tersebut merupakan bagian dari syariat, sedangkan permasalahan yang mengemuka dan lalu mengakibatkan permusuhan, ketidakharmonisan, caci maki, hingga terputusnya ikatan persaudaraan, maka itu bukanlah bagian dari syariat Islam, karena bagaimanapun perbedaan adalah sebuah keniscayaan, sementara persatuan tetap harus ditegakkan”.

Muhammad Zakki

Penulis dan mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah, berasal dari kabupaten Pemalang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *