Jalan Terjal Santuy Beragama
Ditulis Oleh: Muhammad Zakki
Judul Karya : Gusti Mboten Shareloc dan Beberapa Cerita Tidak Jelas lainnya
Genre : Kumpulan Cerpen.
Pengarang : Embah Nyutz atau Tri Wibowo BS.
Penerbit : Diva Press Yogyakarta
Tahun terbit : Juli 2020
Jumlah halaman : 168 halaman
Edi AH Iyubenu yang merupakan si empunya Diva Press adalah satu-satunya orang yang memberikan testimoni dalam buku keenam yang berhasil diterbitkan oleh Embah Nyutz. Tapi justru ini menjadi nilai lebih di mana Pak Edi juga tergolong suangat produktif dengan tulisan-tulisannya yang berbobot, di samping kesibukannya dalam mengawasi prosesi penerbitan buanyak buku. Dalam narasinya yang dipajang disampul belakang buku ini, ia mengkalisifikasikan karya cerpen ini sebagai “sastra embuh”, tapi yang demikian ini tidak mengurangi kadar hikmatisme pada kandungan cerita yang disampaikannya.
Di sini ada sembilan belas cerita yang ia paparkan berkaitan dengan berbagai macam unsur kehidupan dengan varietas keragamannya, ada Cerita Menyebalkan di Hari Jum’at, Asmaradana, Merak di Langit, Musyawarah Iblis, Mbah Man, Anak: Kisah Tiga Rumah, Legenda Monumen Lilin, Perempuan yang Datang di Sore Hari, Pak Mukhlis, Bersama Ayah, Menjadi Penyair, Mimpi Hujan, Pengganggu Kebahagiaan, Percakapan Diam, Cara Lain Menyeduh Kopi, Tukang Suwuk Mbelgedhes, Di Gerbong Kereta Masa Lampau, Cerita-Cerita Tidak Jelas, dan Gusti Mboten Shareloc.
Mayoritas cerita yang disuguhkannya kepada pembaca adalah pengalaman real kehidupan yang dihadapinya pribadi, yang memuat pesan ‘santuy’ dalam menjalankan perintah agama. Dalam “Cerita Menyebalkan di Hari Jum’at” yang menjadi cerita pembuka misalnya, ada tiga tokoh yang digrundelkannya dalam prosesi sakral rutinitas pekanannya kala itu. Gangguan, atau ‘konflik batin’ pertama datang dari seorang jamaah di mana ia memaksakan masuk dalam barisan shaf meski posisi duduk telah cukup padat berisi. Kedua, api hangat kebencian disulut oleh sang imam. Kesempatan khutbahnya dimanfaatkannya untuk menyampaikan wasiat agama yang panjang dan lebar, juga dalam bacaan sholat yang dibawakannya. Sebagai seorang pimpinan, sudah seharusnya imam mampu memahami keadaan orang-orang di belakangnya yang tidak semuanya adalah se-kapasitas dengan dirinya. Yang ketiga adalah sosok jamaah di kanan duduknya. Dengan penampilan nyunnah-nya, ia tidur mendengkur terduduk saat-saat khutbah, namun begitu sholat Jum’at dijalankan, ia mengharuskan dirinya untuk menghambat masuknya setan dalam barisan shaf dengan menginjak jari kaki orang lain. Orang-orang ini keukeuh dalam menjalani ajaran agama yang paling benar menurutnya. Bukannya melaksanakan sholat Jum’at dengan penuh kekhusyu’an, orang di sekitar malah terganggu dan berpotensi menjadi enggan melakukan di lain kesempatan.
“Asmaradana” dan “Menjadi Penyair” menjadi kritik atas sastra, terutama puisi. Dalam cerita pertama digambarkan kehidupan dua penyair dalam mengupayakan ke-mapan-an jalan hidupnya yang membawanya pada hasil akhir di luar ekspetasi yang ditujunya di awal. Di sini peran Ketuhanan Yang Mahakuasa melegalkan bahwa se-ngoyo apapun rasa cinta yang engkau tunjukan pada orang yang dicintai, maka jika itu tepat menurut Pencipta dan Pengatur segala urusan, maka tepat pula urusan lain-lain yang berkaitan dengan cintamu kepada kekasihmu. Yang kedua lebih tepat dikatakan sebagai curhat atas kejamnya sistem pendidikan di mana guru bahasa Indonesianya tak lebih mengerti banyak tentang sastra, selain juga melayangkan ‘jalur hidup alay’ para penyair dalam berproses kreatif melahirkan produknya. Menurutnya, untuk membuahkan karya yang menjiwai, seorang penyair perlu mengalami segala macam bentuk pahit manisnya kehidupan, mampu lembek, lembut, merasa simpati, empati dan sering menangis.
“Di Gerbong Masa Lampau”, ia menceritakan pengalamannya dalam mengikuti perjalanan kisah hidup kereta ketika masih belum menemui kecerahan managerial seperti sekarang ini. “Tukang Suwuk Mbelgedhes”, adalah ditujukan kepada Kyai Zainal Ma’arif atau yang akrab disapa Mbah Wong. Sebagai alumni pesantren yang menguasai beberapa keilmuan ‘ala santri, Mbah Wong terpaksa mengalami transformasi dari sikap tradisionalistik menuju modernitas dalam berdakwah, namun hal ini belum cukup membawanya mengakulturasi budaya penampilan berpakaiannya. Sedang “Cara Lain menyeduh Kopi” adalah jawaban atas alasannya kenapa tidak lagi sering berkunjung ke warung kopi. Jawabannya adalah karena ia telah menemukan seseorang yang mengajarinya cara menyeduh kopi yang berbeda dengan metode-metode yang dijalankan oleh barista-barista internasional sekalipun, hingga kini mampu menenal teknik atau cara sendiri dalam menyeduh dan menikmati kopi. Caranya yang demikian adalah bentuk ritual mengenang hal-hal sederhana di masa lalu yang sulit diraih di masa kini, di samping juga karena ia telah menemui seseorang yang mampu menghadirkan seduhan kopi yang berbeda karena dibumbui cinta. Istri yang baik adalah yang mampu memahami hobi suaminya.
“Merak di Langit” dan “Gusti Mboten Shareloc” mungkin dua cerita yang mendeskripsikan unsur ketasawufan yang sudah berkelebat dalam realitas nyata. Disebutkannya ada sosok berpenampilan nggembel yang setiap harinya berkunjung ke sebuah makam di semak-semak pinggir lapangan. Ia bertindak layaknya orang tak waras lainnya, bernyanyi, berteriak, menggumam dan berbicara sendiri, hingga suatu hari penulis menyaksikannya dikelilingi oleh ribuan orang bergamis putih yang terus menerus berdzikir dengan merak besar menutupi daun langit. Sayangnya ini hanya hadits ahad selagi penulis masih kecil dan teman-temannya tidak melihat apa yang dirasakannya. Gusti Mboten Shareloc pun demikian alurnya. Seorang pemuda desa yang dianggap gila oleh warga sekitar karena perilakunya yang aneh. Dalam pengakuannya ia sedang dalam kegagalan merangkai cinta. Hingga kemudian hari datanglah seseorang yang menjumpainya di sebuah warung, padahal ia dikabarkan sedang menjalani ibadah umrah bersama salah seorang anggota keluarganya. “Gusti, kenapa engkau bukakan rahasia? Apa salahku?” gumamnya sebelum orang-orang menyadarinya. Hal-hal transenden semacam ini adalah bentuk teka-teki penulis yang kudu dipecahkan oleh pembaca sendiri. Seluruh rangkaian ceritanya diulas dengan bahasa humor dan ‘seadanya’, serta diungkap dengan dialog orang pertama keakuan sehingga meng-halu-kan pembaca seolah sedang didongengi langsung oleh penulisnya. Secara esensi, karena tulisan ini diterbitkan oleh Divapress yang dikenal telah banyak mengkodifikasikan karya-karya berkualitas, tentu sama sekali tidak mampu menampakkan sisi cacatnya buku ini untuk dibeli, atau mungkin hanya sebagai bahan koleksi. Tulisan ini sangat jauh dari kata menghimpun seluruh isi dalam buku tipis nan murah ini karena hanya mewakili, sehingga pembaca perlu memiliki sendiri untuk menikmati sensasi yang lebih. Tentu lebih baik menjadi manusia berguna dengan lebih banyak membaca, mengambil sisi baiknya, lalu mengamalkannya. Selamat menikmati.