Bunga Desa Yang Semerbak Keharumannya
Ditulis Oleh: Muhammad Zakki
Bisik-bisik ibu tetangga membincangkannya. Para pemuda juga menyayangkannya. Beberapa dari mereka yang sudah matang bahkan telah secara terang-terangan matur kepada Pak Hadi, untuk mempersunting putrinya itu, bahkan Kiai Ali pun sudah menawarkan salah satu putranya. “Saya tidak sekufu dengan Gus” tolak bunga desa itu lembut. Keanggunan dan kerendahan hatinya membuat siapa saja yang melihatnya terpesona. Ia bukan hanya cantik, namun juga sejuk dipandang mata. Pandangan matanya indah, sulit terdefinisikan kata-kata karena kebanyakan ia menundukkan kepala ketika berbicara, terutama kepada lelaki yang bukan mahramnya. Aura yang dimilikinya membuat setiap laki-laki enggan dan segan, menjaga kehormatannya. Kini ia telah menerima suntingan Kang Ahmad. Tak banyak yang tahu bahwa Kang Ahmad adalah ustad di pesantren yang telah dimukiminya selama delapan tahun, fakta yang terlihat hanya ia sebagai penjual kopi di warung.
Tak banyak yang menyangka bahwa seorang perempuan yang bagai putri kerajaan cantiknya harus diperistri oleh Kang Ahmad yang dipandang sebagai penjaga kopi biasa. Selama tiga bulan di rumah setelah pulang dari pesantren, Kang Ahmad memang dikenal hanya berdiam diri di rumah aja selain sering menghadiri majlis-majlis dzikir. Namun siapa sangka bahwa selama di rumah ia menggeluti banyak kitab dan memutalaahinya. Ia menikmati cengkramanya dengan kitab-kitab yang dikajinya.
***
Fatimah Zahra namanya, layaknya putri Rasulullah Saw. Ayahnya bernama Abdul Hadi. Ketokohannya dikenal oleh hampir seluruh warga Bukit Ijo, meski bukan sebagai pemilik madrasah ataupun imam musholla, namun istikamah dan kefasihan adzannya menimbulkan kenangan tersendiri di hati warga. Masyarakat menghormatinya, keramahan dan sopan santunnya. Ia akan selalu tampak aktif dalam setiap kegiatan sosial warga, apapun organisasi yang mengadakannya. Tak heran jika ia sering diundang dalam setiap agenda hajatan warga, baik sebagai pengisi acara maupun pembaca doa.
Istrinya Muslikhah atau Mak Liha, yang juga ibunda dari Imah adalah pengajar al-Qur’an bagi anak-anak tetangganya. Ia membuka ngaji di rumahnya secara sederhana. Ruang tamu dan halaman rumahnya dijadikan sebagai tempat ngaji Qiraati dan al-Qur’an yang dimulai setelah shalat Maghrib berjamaah di musholla, yang letaknya hanya beberapa jengkal saja. Ia memilih mengajar ngaji di rumah saja, agar dipenuhi keberkahan katanya. Ia ingat betul landasan prinsipnya adalah salah satu hadith Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, berbunyi “Terangilah rumahmu dengan sholat dan bacaan-bacaan al-Qur’an”. Ia berharap besar agar keluarga dan anak cucunya kelak berguna bagi nusa dan bangsa serta selalu menjadikan al-Qur’an sebagai pedomannya.
Santrinya banyak, karena tempat itu merupakan satu-satunya yang membuka ngaji al-Qur’an di desa. Tidak jarang pula yang merupakan warga desa sebelah, namun Mak Liha tidak pernah menarik pungutan dari murid-murid yang diajarinya. Ia tidak menjual al-Qur’an yang diajarkannya. Ia sudah merasa cukup dengan hasil sawah yang dikelola suaminya dan hasil menjual kue-kue buatan yang dititipkannya ke beberapa warung tetangga. “Ora kabeh wong nduwe kerjoan, tapi kabeh wong mesti nduwe jatah rezekine dewe-dewe. Gusti Allah wes njamin” tuturnya mantap. Karena para orang tua wali santri memaksanya, ia pun mempersiapkan kaleng besar di sudut rumah sebagai tempat anak-anak murid ngajinya memasukkan ianahnya setiap malam Kamis, tanpa ditarif, bahkan tanpa paksaan sehingga mereka yang merupakan golongan tidak berpunya tidak merasa terkucilkan karenanya.
Barangkali itulah yang memotivasi Imah untuk selalu haus dengan ilmu agama. Usianya telah memasuki kepala dua, tapi semangat ngajinya tetap membara. Ia mengaji di madrasah Kiai Ali di Plumbon, kampung sebelah. Alasannya, ibunya hanya mengajar sampai al-Qur’an saja, sedang di madrasah ia sudah diajari kitab kuning. Gadis kampung seusianya kebanyakan telah membina rumah tangga. Baru lulus SMP saja sudah malas untuk ngaji, paling banter juga umuran SMA, itupun jumlahnya tidak seberapa.
Beberapa kali Mak Liha ibunya menawarinya untuk membantu mengajar al-Qur’an di rumah saja. Hal yang sama juga telah diusahakan oleh Kiai Ali. Pengetahuan Imah sudah cukup luas tuturnya dan ia dibolehkan untuk ikut mengamalkannya di madrasah yang diasuhnya. “Saya perlu lebih banyak belajar lagi, Kiai. Saya ingin melihat anak-anak saya kelak menjadi orang yang berguna” tolaknya secara halus. Setiap harinya ketika hari mulai senja ia mengayuh sepeda ke madrasah yang sekilo jauhnya. Ada jejak harapan di setiap bekas jalanan yang dilaluinya. Di sana ia mungkin santri yang paling dewasa, tapi perbedaan usia tampak sudah musnah karena ia tampak lebih mudah dari usianya, bahkan lebih cantik dibandingkan santri-santri lainnya.
***
Imah dan Kang Ahmad pasangan yang serasi. Kang Ahmad kembali diutus pengurus pesantrennya untuk mengabdikan diri. Hampir setiap harinya ia pulang pergi keluar kota untuk mengajar di pesantren, sementara Imah meski telah mengandung anak kedua masih tetap aktif menghadiri majlis-majlis dzikir dan pengajian di sekitar desanya, di samping rutinitasnya mengajar al-Qur’an. Ia tak pernah melewatkan setiap majlis ilmu tanpa menghadirinya dan menyimak seksama setiap butiran mutiara nasihat yang disampaikan di sana. Di samping kesibukannya sebagai ibu rumah tangga yang mengabdikan dirinya pada keluarga, ia memilih untuk mengajar di rumah demi membantu Mak Liha ibunya yang kini sudah makin tampak renta, meski semangatnya dalam mengukir al-Qur’an di hati generasi muda orang-orang di sekitarnya masih terus tampak cerah. Dua tetangganya yang turut meluangkan waktunya untuk mengabdikan diri pada al-Qur’an kini memilih jalan hidupnya agar lebih cerah dengan merantau ke ibu kota.
Jadilah kini hanya Mak Liha dan Imah lah yang mengajar di rumah penuh berkah itu. Jumlah murid juga makin sedikit. Kebanyakan orang tua memilihkan anak-anaknya untuk belajar di TPQ-TPQ yang sudah semakin banyak jumlahnya. Tapi itu merupakan keberhasilan Mak Liha. Pengasuh TPQ-TPQ itu adalah anak didiknya dulu yang kini berhasil mengamalkan ilmunya. Di usianya yang makin senja setidaknya itu dapat mengurangi bebannya, tapi tidak dengan pahala keilmuannya yang semakin semakin bertambah karena terus menerus diajarkan. Ia yakin bahwa apa yang dilakukannya sekarang akan bermanfaat di masa depan, bahkan pada kehidupan setelah kematian.
***
Kehidupan Kang Ahmad dan Imah dapat dikatakan istimewa. Hampir kemana-mana keduanya terlihat bersama. Setiap ada majlis dzikir ataupun pengajian selalu aktif tanpa lupa menyertakan Subhi putra sematawayangnya. Warna pakaian putih senada yang mereka kenakan mengumbar makna keharmonisan hidup keluarga kecil itu. Sepeda motor matic yang mereka tumpangi setiap kali keluar bersama itu menjadi saksi bisu atas keindahan bahtera rumah tangga yang dibina keduanya. Apalagi kini Ibu Imah juga sedang mengandung putra keduanya. Beberapa kali Kang Ahmad menyuruhnya untuk beristirahat di rumah saja demi menjaga kesehatan bayi yang dikandungnya, tapi ia lebih banyak menolaknya, bahkan yang lebih bersemangat untuk mengajaknya. “Hari ini kita yang mendoakannya, tapi kelak mereka berdua yang akan mendoakan kita” tangan kanannya mengelus perutnya yang membuncit, sementara tangan kirinya memegangi Subhi yang kini mulai pandai berlari.
Tidak sedikit orang-orang yang cemburu akan kebahagiaan keduanya. Mereka hanya kurang syukur dengan jalan takdir yang menjadi pilihannya. Sukanya menyaksikan ladang orang lain lebih subur daripada miliknya. Mereka sudahlah lupa bahwa wanita terbaik diperuntukkan bagi laki-laki terbaik, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an surat Al-Nur ayat 26. Tidaklah setiap orang berhak memperoleh apa yang dicitakannya jika ia berusaha untuk mendapatkannya.
***
“Ibu Imah mana yaa” tanya bu Siti merasa belum menemukan sosok Ibu Imah bunda Subhi. Biasanya ia sudah terlihat duduk paling depan di majlis pengajian bulanan Kiai Ali. Sesiang itu ia belum datang, padahal biasanya sudah hadir sebelum acara dimulai.
“Oh Ibu Imah meninggal dunia pada Jum’at pagi kemarin, bu Siti” jawab ibu Rahma, perlu memberitakan kabar yang belum diketahui sahabatnya itu. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun” lirih bu Siti menyesali ketiadaan salah satu temannya. Air matanya menetes deras mengetahui sahabatnya yang harus dipanggil Tuhan meski masih muda, sementara usianya yang kini memasuki kepala lima masih sangat jauh dari kata siap untuk menghadap kehadirat-Nya. “Mugi-mugi pinaringan khusnul khotimah mawon lan dikempalake bareng kaleh guru-guru. Amin” doanya tulus.
Ibu Imah meninggal satu minggu setelah melahirkan Dani, adik Subhi. Di malam resepsi akikah putra keduanya itu ia masih tampak sangat bergembira sekali menerima karunia Allah untuk kesekian kalinya. Dinamainya Syaraful Anam bayi mungil berumur sepekan itu. “Semoga dapat membawa kecerahan kepada umat manusia seperti namanya” tuturnya lirih mempertahankan argumentasinya pada Kang Ahmad tentang nama putra barunya. “Panggilannya Dani agar ia selalu dekat dengan Allah” jelasnya lagi.
Pagi harinya kebahagiaan keluarga itu harus dihentikan oleh kabar meninggalnya Ibu Imah. Kesehatannya menurun drastis malam setelah kegiatan doa akikah. Sebenarnya ia telah keletihan sejak melahirkan Dani, tapi selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik untuk keluarganya. Ia menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan agar bisa terus menyaksikan kedua putranya.
Hingga seusai Subuh tadi Allah berkenan memanggilnya. Bukit Ijo kehilangan salah satu perempuan terbaiknya. Sosok wanita dengan semerbak harum akhlaknya harus melepaskan raganya dari hiruk pikuk dunia. “Biarkan dia bahagia dengan kemanfaatan ilmu yang diajarkannya dan anak-anak yang kelak mendoakannya” nasihat Mak Liha pada tetamu yang hadir ke rumahnya dengan tabah mengakui kepergian putrinya.