Ber-Suluk (Mendekatkan diri Kepada Allah) dengan Instrumen Musik

Ditulis Oleh: Ainul Yaqin

Sumber Gambar: dialektik.id

“Musik”, biasa kita ungkapkan untuk sebuah sebutan dari seni nada atau kombinasi suara. Memiliki berbagai rumus yang dapat menghasilkan keharmonisan irama. Bagi lidah (kecapan), terdengar ada rasa manis, pahit, asem dan sebagainya. Demikian dengan telinga (pendengaran). Di situ, ada suara maupun bunyi yang terngiang nyaman, tentram bahkan vals.

Sejauh ini, musik senantiasa dalam ruang perbincangan dan perdebatan (bagi Islam). Terutama dalam konteks Nusantara yang kerap kita kenal dengan Islam Nusantara. Seperti tembang-tembang, gamelan dan musikalisasi yang tercatat dalam sejarah para penyebar Islam di Nusantara. Problema ini kerap dibenturkan dengan pilihan klaim antara “boleh” dan “dilarang atau haram”.

Mungkin kita hanya mengetahui bahwa klaim musik selalu berakhir pada “haram”. Merujuk pada kitab-kitab Fiqh klasik, keharamannya dapat terbukti dengan diharamkan pula untuk menjual alat musik itu. Semisal gitar, seruling dan semacamnya. Hal ini (keterangan Kifayat al-Akhyar) lantaran dikategorikan sebagai “tidak bermanfa’at secara syar’i” atau (syari’at melarangnya). Alasannya, alat musik merupakan instrumen lahwi (pelupa dari mengingat Allah Ta’ala).

Namun, musik atau nada indah bagi kalangan sufi dapat dijadikan sebagai instrumen. Sebuah penggerak atau sarana dalam bersuluk (mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala). Begitu-pun, al-Ghazali (Ihya’ Ulum al-Din) berusaha merekonstruksi kembali argumentasi musik. Apakah diklaim haram secara mutlak, tanpa terkecuali?

Seperti di atas, alasan musik diharamkan ialah nada suaranya yang dapat melalaikan (dari ingat Allah Ta’ala). Alasan lain, semisal nyanyian yang dibunyikan oleh seorang wanita, maka diharamkan karena menimbulkan fitnah. Dengan ini, al-Ghazali ingin meninjaunya kembali. Ia menjelaskannya dengan detail dalam sub-bab tersendiri “al-dalil ‘ala ibahat al-sima’” (dalil dibolehkannya mendengar musik dan nada). Di samping itu, dari beberapa instrumen musik memang ada yang dapat menjadi penggerak qalb (hati) untuk mengingat Allah Ta’ala. Menurutnya, keharaman musik bukan karena musik itu sendiri (internal), tetapi karena faktor eksternal dari musik itu.

Kita lihat saja di sekitar, bagaimana pengaruh nada dan bunyi pada seseorang?, seperti majlis-majlis yang mengajak melantunkan dzikir atau bersholawat bersama. Menurut indikator sementara – yang pernah dibincangkan penulis bersama pak Chafid Wahyudi (founder KOBAR Surabaya), para jama’ah menggelengkan kepala (saat berdzikir) atau sedikit berayun-ayun (majlis shalawat), apakah sepenuhnya karena dzikir dan shalawat itu sendiri beserta artinya? Sepertinya tidak. Namun karena bunyi dan suara indahnya, para jama’ah tergerakkan dan berayun. Buktinya, anak kecil yang belum tamyiz (istilah Fiqh-belum dewasa atau belum dapat membedakan) turut berayun-ayun ketika mendengar denging indahnya berdzikir – melihat video anak kecil di tengah-tengah majlis Al Khidmah.

Jika dipikir-pikir, kita tinjau saja tentang majlis yang biasa diadakan oleh Al-Khidmah. Mulai awal hingga akhir, hampir seluruhnya susunan acara memiliki instrumen irama khas masing-masing. Bahkan sejauh yang diketahui penulis, lagu ibadallah manaqib syekh Abdul Qadir al-Jilani versi irama haul dan versi irama acara biasa berbeda. Mengambil apa yang pernah dijelaskan oleh salah satu Ustadz, Dewan Pengurus Thoriqah.

Hal itu layaknya kisah Abu Muhammad al-Jariri saat bersama syekh Junaid (diterangkan oleh kitab al-Risalah al-Qusyairi). Di sana pula, ada Ibn Masruq dan yang lain bersama mereka. Saat itu, dibunyikan lantunan semacam nasyid atau syi’ir. Akhirnya, lantas berdiri-lah (berayun) Ibn Masruq dan yang lain karena mendengar bunyi lantunan itu, sementara syekh Junaid tetap seperti semula (diam dan tidak ikut berdiri).

Maka, bertanya-lah Abu Muhammad al-Jariri: “wahai tuanku, apakah engkau tidak mendengar sesuatu (nada) apapun?” syekh Junaid menjawabnya dengan bunyi ayat:

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.” (QS. Al-Naml: 88)

Lanjut syekh Junaid: “dan kamu wahai Abu Muhammad?”. “jika aku mendatangi suatu tempat yang terdapat lanjutnan nada (nasyid) namun di situ juga ada seseorang aku sungkani, maka tahan sebentar. Setelah aku menyepi, aku lepaskan diri, dan berayun” jawaban Abu Muhammad al-Jariri.

Dari kisah ini, ada beberapa hal yang dapat ditarik sebuah kesimpulan. Pertama, syekh Junaid tidak mengingkari yang lain untuk berdiri (berayun) karena bunyi indah. Kedua, syekh Junaid bukannya tidak ingin mengikuti yang lain, tetap memang ia terjaga dan stabil keadaannya. Sebab telah menggapai kesemurnaan. Artinya, meski diam, tapi sebenarnya ikut berayun. Ketiga, fenomena ini telah mentradisi jauh sebelum sekarang.

Karena itu, setelah meninjau dampak mendengarkan musik dan nada, al-Ghazali menawarkan keputusan dalam Ihya’-nya secara tafsili. Tidak sepenuhnya (secara mutlak) berhukum boleh dan tidak pula sepenuhnya dihukumi haram. Ini berdasarkan pengaruh apa yang akan terjadi pada qalb (hati) seseorang. Sehingga, hukumnya akan berbeda sesuai berbedanya ahwal (suasana psikis) seseorang dan pula sesuai berbedanya bacaan atau lagu nadanya.

Ainul Yaqin

Founder (1) Komunitas HIKAM, mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *