Melepas (Diri) Dari Pandangan “Hitam-Putih”

Ditulis Oleh: Samsul Arifin

Sumber Gambar: pixabay.com

Melakukan maksiyat bukanlah solusi untuk meghilangkan stress ataupun lari daripada taat yang tak membuahkan hasil, semisal lantaran sebuah kesalahan. Contohnya, kita telah melakukan sholat lima waktu bahkan banyak sholat sunnah yang kita lakukan dan perbuatan baik juga sangat banyak dikerahkan. Akan tetapi, kita masih belum meraih sesuatu yang kita harapkan sampai saat ini. Bahkan ada saja sesuatu lain yang menghalangi kita untuk meraih apa yang kita harapkan tersebut.

 Lantas, apa yang selayaknya kita perbuat? Putus asa-kah. Lalu menyudahi segala amal shalih kita? Atau bahkan kita melampiaskan dengan maksiyat atau yang dapat melalaikan kita terhadap Allah Swt.? Na’udzubillah. Mari lanjut membaca ulasan singkat ini dan semoga dapat bermanfaat walaupun sedikit.

من علامة الاعتماد على الاعمال نقصان الرجاء عند وجود الزلل

“merupakan tanda bersandar pada amal lahir ialah semakin berkurangnya pengharapan, ketika terjadi kesalahan atau keluputan”

Merupakan salah satu hikmah tasawuf yang dibunyikan oleh Syaikh Ibnu ‘Athoillah al-Sakandary dalam Hikam-nya. Pada hikmah tersebut – diterjemahkan secara tekstual, akan dipahami bahwa jika seseorang yang sangat pede dengan amalnya sendiri, ia akan lupa akan berharap kepada Allah Swt Yang Maha Segalanya (saat terjadi sebuah kekhilafan – bahasa anak sekarang yang berarti kesalahan). Namun pemahaman hikmah ini tidak hanya berhenti di situ. Seharusnya mengetahui lebih dari itu agar lebih luas dalam pemaknaannya.

Al-Syarqawi memberikan beberapa macam tingkatan seseorang dalam hal suluk (perjalanan spiritual – Tasawuf). Pertama, seseorang dalam beribadah kepada Allah Swt mengaharapkan agar masuk surga dan dijauhi dari api neraka. Kedua, seseorang dalam beribadah tidak berharap seperti macam yang pertama, yang ia harapkan adalah wushul di kehadirat Allah Swt. Ketiga, mereka tidak merasa melakukan apa-apa, meskipun mereka telah melakukan banyak sekali perbuatan baik. Yang mereka ketahui hanyalah sesungguhnya yang melakukan perbuatan baik itu adalah Allah Swt.

Untuk tingkatan pertama dan kedua, sebenarnya tidak dibilang salah, jika seseorang melakukan ibadah dengan berharap sesuatu yang lain. Tetapi, seseorang yang bangga dengan amalnya sama saja berdampak pada berkurangnya pengharapan kepada Allah Swt, saat ia telah melakukan sebuah kesalahan – bagi kalangan sufi.

Bagi seseorang yang telah ma’rifat – dekat kepada Allah Swt, tidak ada bedanya antara saat melakukan amal shalih maupun telah melakukan kesalahan (meskipun kita tahu bahwa wali Allah itu mahfudz – terjaga dari kesalahan). Artinya, penghambaan dan kesungguhan dirinya tetap tidak berkurang – stabil. Bahkan semakin berlipat, saat telah melakukan kesalahan meski sedikit.

Sisi lain, antara kadar takut (khauf) dan berharap (raja’) kepada Allah Swt baginya itu sama dan seirama dalam menghadapi kasus apapun. Bahagia atau-pun susah semuanya sama, yakni senantiasa dibarengi dengan takut (khauf) dan berharap (raja’) kepada Allah Swt.

Semisal saat bahagia, ia malah takut nikmat akhiratnya terhabiskan oleh kebahagiaannya di dunia. Pula saat susah, pengharapannya kepada Tuhan semakin tebal. Hal ini tanpa menutup kemungkinan akan kepincangan – berat sebelah pada sisi lawannya.

Dalam konteks pola pikir dan pandangan juga, terbukti semisal saat melihat para pendosa (seperti penulis, pendosa berat). Bagi mereka yang bijak (yang stabil, kedekatan bersama Allah) bukannya malah memusuhi mereka (para pendosa). Mengecam atau melaknat mereka akan masuk neraka. Justru, melihat bahwa masih ada sisi raja’ bagi mereka agar dapat sama-sama kembali menghambakan diri kepada Allah Swt.

Mungkin itu saja tulisan yang tak luput dengan kesalahan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua (umumnya) dan bagi penulis (khususnya) dalam menjalani kehidupan yang penuh liku-liku ini. Kiranya pembaca menjumpai kesalahan terhadap ulasan ini, sudilah untuk menyalahkan kemudian menjelaskan kebenarannya dalam kolom komentar. Agar pembaca yang lain juga mengetahui pemahaman yang sebenarnya. Wallahu A’lam bis showab.

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *