Aku (Rasulullah SAW) Tertawa Saat Membunuh-Jalaluddin Rumi
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin
“Pencela bukan-lah musuh bagi Orang bijak”
Tidak hanya Al-Qur’an dan Sunnah (sumber utama Islam) saja, lebih dari satu buku-rujukan lain (catatan sejarah dunia) sangat mengakui kehebatan, kemuliaan akhlak dan kelembutan Rasulullah SAW. Tak Khayal, banyak nama atau sifat yang dinobatkan padanya. Bagi ajaran Islam, tidak hanya dua atau tiga nama-sifat Rasulullah SAW, yang terekam oleh teks Al-Qur’an maupun Sunnah. Kita semua mungkin banyak tahu tentang nama-nama indahnya. Namun, satu ini sangat asing, sekilas paradoks atau antagonis – bagi penulis sendiri-pun. Ada sebuah riwayat yang pernah mencatat sabdanya berbunyi “saya adalah pembunuh yang tertawa”.
Ungkapan ini (tanpa penjelasan lebih lanjut) atau “aku tertawa ketika membunuh” – keterangan beberapa penerjemah, jika dipahami, sekilas begitu aneh. Sekilas nyentrik dan keluar dari lajur pemahaman kita. Sejauh ini – yang kita kenal – Islam adalah agama rahmah, lembut dan kasih sayang. Sehingga Rasulullah SAW sendiri sebagai pembawa agama Islam juga rahmah.
Jangan salah sangka jika nama ini terlihat kejam! Atau tampak seram dan menakutkan!
Teks asli berbunyi “Ana al-Dlahuk al-Qattaal”. Bahkan juga tertera dalam redaksi kitab suci Taurat, riwayat Ibn ‘Abbas berbunyi “Ismuhu Ahmad al-Dlahuk al-Qattaal”. Terlihat di situ, ada dua nama. Tetapi, dua nama ini tidak dapat dipisahkan atau disendirikan satu dari yang lain; satu kesatuan. Lalu, bagaimana maksudnya?
Julukan Rasulullah yang satu ini – oleh Ibn Katsir disandingkan dengan ayat:
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maaidah: 54)
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (S. Al-Fath: 29)
Dari sana, nama-sifat ini hanya dimiliki Rasulullah SAW beserta orang-orang mukmin yang telah menggapai kesempurnaan. “Tertawa” artinya bersikap lemah lembut, kasih sayang kepada sesama, sementara “membunuh” bersikap tegas dan berani untuk memerangi musuh-musuh Allah Ta’ala. Sifat-nama ini dimiliki oleh orang-orang bijak yang tidak (marah) terpengaruh oleh celaan-ejekan para pencela.
Mengapa dua nama-sifat itu satu kesatuan? Jika tidak dapat dipisahkan, bukankah terlihat begitu menyeramkan? (penulis teringat film “Joker” yang pernah ditontonnya, hehe).
Justru, gabungan dua sifat ini merupakan karakter adil. Karakter moderasi dalam wilayah kepemimpinan, khususnya. Hal ini dapat dipetik dari sosok Abu Bakr dan Umar bin Khattab, para khalifah Rasulullah SAW. Meski yang satu cenderung terlihat lembut dan yang satunya lagi terlihat tegas (pemberani), kedua sosok ini hakekatnya memiliki dua sifat itu sekaligus. Tidak berat sebelah (moderat, bukan ekstrem). Abu Bakr yang cenderung terlihat lemah lembut, ia sebenarnya juga pemberani dalam memerangi musuh Allah Ta’ala.
Ini masih tentang para khalifah. Lalu, bagaimana dengan Rasulullah SAW yang tercatat sebagai pemimpin nomor satu dalam arus sejarah dunia? Maka, beliau (Muhammad) sungguh stabil antara sifat lemah lembut, kasih sayang dan tegas pemberani.
Mulanya, gagasan ini berawal dari pemikiran Jalaluddin Rumi. Silogisme-Rumi mengajak penulis merenungi pertanyaan “apakah kebaikan dan keburukan digerakkan oleh satu atau dua pelaku?”. Memang, satu aspek meninjau dua sifat ini adalah dua sisi yang berbeda dan digerakkan oleh dua pelaku yang berbeda pula. Tetapi dari aspek lain, keburukan dan kebaikan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kebaikan adalah meninggalkan keburukan dan keburukan adalah melancarkan tindakan yang tidak baik.
Bagaimana “meninggalkan keburukan” dapat dinyatakan “sebuah kebaikan” – Fihi Ma Fihi versi Arab?, jika di situ tidak terdapat pendorong pada keburukan. Tentunya, lantaran ada pendorong pada keburukan, dapat dinyatakan bahwa meninggalkan keburukan adalah “sebuah kebaikan”. Ini-pun sebagaimana dua nama-sifat di atas. Dapat dipahami dengan tidak memisahkan satu dari yang lain. Atau secara satu kesatuan.
Secara garis besar, demikian-lah maksud dari “aku tertawa ketika membunuh” atau “aku adalah pembunuh yang tertawa”. Merupakan sebuah sifat-nama yang juga mencerminkan rahmah, sejatinya Islam.
Pada sebelumnya, sifat-nama itu juga dimiliki orang bijak. Seseorang yang tidak merasa (efek) apapun hanya karena celaan-ejekan para pencela. Artinya – komentar Ibn Katsir, orang bijak tersebut tidak akan berhenti dari melagsungkan ketaatan, amar makruf, nahi munkar dan semacamnya. Celaan-ejekan tidak membuatnya gengsi untuk tidak melakukan kebaikan. Apalagi, membuatnya marah.
Bagi Rumi, seseorang yang mengumpat pada orang bijak (‘Arif), hakekatnya ia memuji orang bijak itu. Pengumpat, pencela bagi orang bijak bukanlah musuh. Justru, dengan umpatan itu, orang bijak itu dapat lebih berhati-hati dalam berperilaku. Ia malah senang (tidak marah) bisa menyadari kesalahan yang dapat dibenahinya. Karenanya, ada kata-kata “seseorang akan senantiasa dapat penilaian (umpatan), jika dari musuh (kebalikan)nya”.
Lebih dalam lagi – masih dengan silogisme-Rumi, pencela adalah yang mengumpat buruk terhadap orang bijak. Dengan kata lain, pencela itu tidak suka dengan sifat buruk itu (yang dijadikan umpatannya terhadap orang bijak). Sementara, orang bijak adalah musuh segala sifat buruk. Maka, justru pencela adalah teman dan bukan musuh bagi orang bijak itu.
Inilah karakter-sifat Rasulullah SAW. “Al-Dlahuk al-Qattaal”. Ia (Muhammad) tidak pernah memiliki musuh yang pernah membuatnya marah. Bukan sebab marah ataupun kegarangan, Rasulullah SAW dalam melancarkan peperangan. Seakan ia “tertawa” (kasih sayang) saat “mengeksekusi” – Jalaluddin Rumi.