Kiai Husein Muhammad dan Stagnasi Keilmuan Islam
Ditulis Oleh: Lifa Ainur Rahmah
Judul buku: Dialog dengan Kiai Ali Yafie
Pengarang: K.H Husein Muhammad
Penerbit: IRCiSoD
Volume: 134 halaman
Buku dengan judul besar “Dialog dengan Kiai Ali Yafie” ini merupakan buku ke sekian yang ditulis K.H Husein Muhammad. Buku ini juga menjadi buku ke tiga karya beliau yang bisa saya akses dan baca.
Volume buku ini tidak terlalu tebal, bahkan bisa terbilang tipis, – kita bisa menyelesaikannya dalam satu kali duduk –, dibanding buku-buku Buya Husein yang saya baca sebelumnya: Islam Tradisional yang Terus Bergerak, dan Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan.
Blurb buku ini, menampilkan satu keresahan tentang pengetahuan (keislaman) yang dikonsumsi semua kita, yang berjalan di atas tradisi masa silam. Sementara hidup terus bergulir, problematika umat terus mengalir.
***
Saya membaca karya Buya yang satu ini, sebagai lanjutan pembacaan saya atas keresahan beliau tentang stagnasi ilmu pengetahuan dalam Islam.
Mulanya, beberapa waktu lalu, tepatnya enam Agustus 2019, dalam forum kegiatan Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulaman (PPWK) untuk mahasantri Ma’had Aly, yang diselenggarakan pihak Lakpesdam PBNU selama beberapa hari di Parung Sawangan, Bogor, Buya melemparkan keresahannya di tengah-tengah meja dan kursi yang ditata melingkar,
“Teks yang kita baca dan pelajari sampai hari ini apa?” beberapa detik hening, Buya seperti menunggu kami menjawab singkat dan kompak, mata teduhnya menyapu seluruh peserta yang mengisi kursi dan meja di ruangan itu.
“Bukankah sampai hari ini, kita hanya mengulang-ulang pengetahuan lama? Kita mendewakan teks yang ditulis para cendekiawan Muslim berabad-abad yang lalu. Sementara, semua kita tahu, bahwa seluruh teks hanya akan menjawab persoalan pada ruang dan waktunya sendiri”.
Saat itu, nalar saya yang pendek, tidak terlalu jauh menyelami keresahan-keresahan Buya atas kemandekan ilmu pengetahuan dalam Islam. Buku ini dan dua buku yang saya baca sebelumnya, menjawabnya. Membantu saya melihat realitas pengetahuan yang dimaksud Buya dengan lebih jernih.
Sebagaimana judul besarnya, isi buku ini adalah jejak rekam pertemuan Buya dengan Kiai Ali Yafie. Sebagaimana ditulis K.H Helmy Ali dalam kata pengantar, “Ada beberapa hal menarik dari kedatangan Kiai Husein dan kawan-kawan. Kiai Husein tidak sekedar ngobrol, tapi juga mengajak diskusi tentang berbagai topik.”
“Kiai Husein mengajukan beberapa pertanyaan yang tampaknya menjadi kerisauan Kiai Husein selama ini, dan kian lama, Kiai Husein tampak semakin bersemangat”.
“Kiai Ali memang lebih banyak menjawab secara singkat, atau menjawab dengan senyum, sebagai persetujuan. Tetapi dari wajahnya, tampak bahwa dia juga sangat senang selama diskusi berlangsung”. (lihat: halaman 8-9)
Pertanyaan Buya Husein dan jawaban Kiai Ali Yafie – ulama fiqh Indonesia, mantan ketua Majlis Ulama Indonesia, tokoh Nahdhlatul Ulama, pernah menjabat sebagai Rais Aam sementara, (1991-1992), pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan – yang singkat tentang berbagai hal, justru menjadi keunikan tersendiri, ketika diabadikan dalam buku ini.
Adalah Al Kulliyat al Khams (lima hak dasar universal), yang dipopulerkan oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali, dalam bukunya Al Musthafa min Ilm al Ushul yang didiskusikan dengan Kiai Ali Yafie, lalu diulas Buya dalam bab pertama.
Lima hak dasar tersebut adalah, hifz al diin (perlindungan atas agama/keyakinan), hifdz al nafs (perlindungan atas jiwa/hak hidup) , hifz al aql (perlindungan atas hak berpikir), hifz al nasl (perlindungan berketurunan, dan hifz al maal (perlindungan atas hak milik).
Buya menanyakan susunan Al Ghazali ini, seperti disebut Kiai Helmy dalam kata pengantar, Kiai Ali menjawab pendek. Menurut Kiai Ali Yafie, hifz al nafs (perlindungan hak hidup) harus ada di urutan pertama, sementara hifz al diin (perlindungan atas agama/keyakinan) ada di urutan terakhir.
Tentu saja Buya menanyakan alasannya mengapa. Jawaban Kiai Ali tentu pendek dan diplomatis: karena agama melindungi semua itu!
Sampai akhir perbincangan, lagi-lagi seperti yang ditulis Kiai Helmy, Kiai Ali menjawab setiap pertanyaan dan keresahan Kiai Husein (meliputi HAM, Pancasila, Negara Bangsa, Peran akal, dan seterusnya) secara singkat, atau menyunggingkan senyum sebagai bentuk persetujuan.
Hal ini, mengingatkan saya akan satu kaidah yang menyebutkan:
العاقل كفاه القليل
Jawaban orang pinter, ngga pernah bertele-tele.
Buku ini ditutup dengan ulasan panjang Buya soal konservatisme peradaban teks. Dengan rujukan-rujukan kitab induk, raksasa, ushul fiqh. Menampilkan Buya Husein sebagai pembaca yang ulung.
Waba’du, semoga semua kita bisa menjadi seperti beliau-beliau semua. Yang memiliki pengetahuan secara mendalam, arif, bijak bestari, yang kendatipun tidak setuju dengan pemikiran orang lain, ia diam saja dan tidak menstigma. Tidak melebeli negatif atau menilai sesat orang lain. Amin.
Allah Knows Best!