“Rokok-mu Rokok-ku dan Sebaliknya”-Arti Persahabatan dari Kisah Fath Al-Mausili
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin
Mungkin, judul di atas sangat akrab di kehidupan kaum santri – santri putra khususnya. Sarung, baju dan sandal, bagi mereka adalah kebendaan yang hak pemakaiannya dapat berpindah alih satu sama lain. Yang terpenting (menurut mereka), “kamu meminjam dariku, aku tak menolak dan jika aku pula meminjam darimu, jangan kamu tolak”. Lebih dari itu (bukan sekedar meminjamkan), “rokok” merupakan harta bersama untuk santri putra – yang ahli hisab (baca: perokok).
Lah, bagaimanakah tepatnya? Penulis sajikan satu cerita singkat..!
Ada cerita singkat dari penulis sendiri yang kemungkinan besar kalian para pembaca (yang berstatus santri) juga memiliki pengalaman yang seirama. Saya (penulis) jika keinginan merokok-saya tidak terkendali dan saat itu memang tidak punya (rokok), saya pernah mengambil rokok teman-saya. Meski di situ tanpa sepengetahunnya, namun (setelah itu) mesti saya melaporkan tindakan bodoh itu padanya, hehe. Hal ini pun saya tanggapi dengan “tidak marah”, jika teman-saya juga melakukan tindakan bodoh yang semacam.
Slogan kita (sama-sama santri) selaras. “Saya punya rokok, kalian tidak, tetap kita akan merokok bersama. Pula, kamu punya rokok, saya tidak, tetap kita akan merokok bersama. Intinya, saling mengerti”.
Abu Hamid Al-Ghazali – dalam Adab al-Shuhbah wa al-Mu’asyarah telah menandaskan ayat:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini (semoga, termasuk tindakan bodoh di atas, amin) – oleh Al-Ghazali ditafsiri dengan nilai persaudaraan tinggi. Tafsirannya, mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang mencampur aduk harta mereka bersama. Tidak membedakan kepemilikan satu sama lain. Bahkan tidak pernah mengatakan “ini milik-ku”, tapi “ini milik kita”.
Setelah itu, ada sebuah kisah yang disajikan Al-Ghazali. Kisah Fath Al-Mausili. Salah seorang wali yang zuhud. Sejarah mencatat bahwa ia hidup zaman Ibrahim bin Adham (juga seorang sufi). Terkenal dengan sebutan “Fath Al-Mausili Al-Kabir. Berikut kisahnya:
Suatu ketika, Fath Al-Mausil mendatangi rumah saudaranya. Namun, saudaranya saat itu sedang tidak ada di sana dan hanya budaknya saja yang berdiam. Kemudian, Fath Al-Mausili menyuruh budak itu untuk mengambilkan kotak simpanan harta saudaranya untuk dihadapkan.
Dibuka-lah kotak itu seraya mengambil apa yang ia butuhkan. Di kemudian, tindakan Fath Al-Mausili tadi kandasnya dilaporkan oleh budak itu kepada majikannya. Tetapi, dengan tanpa marah, majikan itu lantas berkata pada budaknya:
“Jika berita itu benar, maka kau merdeka karena (ridho) Allah”. Hal ini lantaran majikan itu senang dengan apa yang dilakukan Fath Al-Mausili.
Semacam ini, juga seirama (maksudnya) dengan kisah Ali bin Husein. Cucu sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sepotong kisahnya saat berada di hadapan orang-orang. Waktu itu, Ali bin Husein pernah mengajukan pertanyaan:
“Apakah salah satu kalian pernah memasukkan tangan dalam tas kantong laki-laki ini? Atau mengambil apa yang diinginkan kalian darinya, tanpa izin-pun?”
Mereka menjawab “tidak”.
“Maka, kalian bukanlah saling bersaudara” – ucapan akhir dari Ali bin Husein.