Apakah Membaca Manaqib, Sebuah Kesalahan?-Karya ini Menjawabnya
Ditulis Oleh: M. Nurush Shobah
Judul Buku : Ma Huwa Manaqib (Apakah Manaqib itu?)
Penerbit : Al-Wava Publishing Surabaya, 2018
Pengarang : KH. Achmad Asrori Al Ishaqi R.A
Tebal : 81 halaman (Arab) dan 113 (Terjemahan)
Buku bacaan ini termasuk di antara deretan karya-karya KH. Achmad Asrori al- Ishaqi, selain magnum-opus-nya yang berjudul al-Muntakhobat. Buku dengan tebal 113 halaman ini banyak menguak “manaqib” yang kerap kali duduk dalam polemik perbincangan masyarakat sekitar. Orang-orang yang sekilas memandang majlis-majlis di kawasan jama’ah Al-Khidmah – perkumpulan para pengikut KH. Achmad Asrori al- Ishaqi, nampaklah seakan-akan “manaqib” lebih diutamakan dari segalanya, bahkan dibandingkan membaca al-Qur’an.
Buku ini mencoba untuk mengurai dan menjawab permasalah di atas. Sekaligus makna pendakian spiritual yang sebenarnya, perjalanan tokoh-tokoh sufi yang selalu berdzikir, berkesimpuh dengan Allah SWT serta bersholawat keharibaan Baginda Rasulullah SWT. seraya untuk mencari keridhoan Allah SWT dan meraih kecintaan kepada Baginda Rasulillah SAW.
Buku ini berkarakter ilmiah yang mengutip beberapa redaksi al-Qur’an, Hadist serta kutipan-kutipan ulama’ salafuna Sholih. Bisa dikatakan buku ini adalah buku bacaan mendasar bagi kalangan pengagum manaqib bahkan para cendekia Tasawuf yang mengetahui sesungguhnya sebuah manaqib.
Tidak lepas dari nama judul, buku ini dimulai dengan penjelasan bahwa manaqib merupakan bacaan yang mengandung sebuah sejarah. Atau sering kali diartikan sebagai tarikh/hikayah. Akan tetapi, sejarah yang dimaksud bukan sekedar sejarah yang hanya dibuat bacaan belaka. Namun, memuat kisah hidup para tokoh yang menjadi panutan dan inspirasi umat.
Dari sisi lain, keutamaan membaca manaqib dapat mendekatkan diri kepada Allah. Sebab dilihat dari esensi sejarahnya, mengandung sebuah cerita yang inspiratif bagi kalangan pembaca. Mengapa di akhir-akhir bab manaqib syaikh abdul Qodir pasti menyebutkan kalimat “allahummasyurna“? Itulah adanya potensi akan kebesaran manaqib mengantarkan pembaca dalam bersalik kepada Allah SWT.
Dalam aspek akademika, betapa pentingnya sebuah manaqib. Manaqib juga menjadi objek riset ilmiah dalam kajian-kajian para ilmuan. Sebagaimana karakter buku “arkeologi tasawuf” karya Abdul Kadir Riyadi. Begitupun para ilmuan lain yang mencover riset ilmiahnya dari pendekatan manaqib atau pendekatan historitas.
Dari segi bahasa, manaqib juga sering digunakan sebagai objek analisa linguistik kebahasaan. Sya’ir-syair yang terkandung dalam manaqib dengan begitu indah dan bagus sehingga ketika seseorang membacanya seraya akan mengikuti iramanya, mengundang dilancarkannya sebuah penelitian. Bahkan fakta kecil mengatakan ketika manaqib itu dibaca dalam sebuah majlis (perkumpulan) maka sebagian dari mereka ada yang hatinya tergerak untuk menghayati bahkan menangis saat membaca manaqib tersebut.
Selain itu, buku ini tidak berhenti menjelaskan perihal manaqib saja namun dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sifat-sifat dan pembawaaan wali-wali Allah SWT. Selayaknya buku ini bukan sekedar dirasakan secara literatur makna sejarah (manaqib) para wali Allah SWT. Namun dapat dinikmati lebih dalam lagi siapakah para wali Allah SWT.
Wali Allah adalah sosok kekasih Allah yang telah mencapai maqom makrifat dalam perjalanan sufistiknya di dunia. Sosok kewalian itu akan tampak ketika ia dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tak luput dari itu semua, sebab para wali Allah SWT, memiliki daya tarik yang kuat akan kedekatan dirinya kepada Allah SWT. Bahkan dari sekian banyak kutipan yang dijelaskan oleh Kyai Asrori al-Ishaqi terdapat ketetapan bahwa para Wali Allah SWT ialah ia telah terlihat keistimewaannya. Hal ini merupakan kebesaran dan keanugerahan yang dimiliki oleh seorang Wali Allah SWT.
Al hasil, mengetahui seorang wali merupakan kunci mengenal Allah SWT. Karena seorang wali ibarat pintu bagi seseorang yang ingin masuk ke hadirat Allah SWT. Sedangkan mengetahuinya ialah kunci untuk menghantarkan dirinya dekat kepada Allah SWT. Hakikat keutamaan dan keistimewaaan seorang wali Allah SWT sediri-pun adalah warisan mukjizat dari pada Rasulullah SAW.
Al Ishaqi dalam karangan ini juga menjelaskan berbagai macam ilmu yang describe dengan judul “tipu daya ilmu” maupun Bid’ah (Pembaharuan). Dari kitab ini secara lengkap menjelaskan apa saja macam pembaharuan yang dilarang oleh syari’at maupun tidak. Sebab tidak semua pembaharuan itu dilarang dan sesat. Hal ini tampaknya al Ishaqi mengakui betapa mulianya keberadaan manaqib sebagai pembaharuan yang dianjurkan oleh syariat. Karena kandungan dari manaqib sendiri ialah sebuah dzikir, maupun hikayah seorang Wali Allah SWT yang menghantarkan kedekatan kepada Allah SWT.