Matilah Sebelum Mati!- KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi

Ditulis Oleh: Ainul Yaqin

“Matilah engkau sebelum mati, matiah engkau dari dirimu dan makhluk”

Syekh Abdul Qadir Al-Jilani

“Kematian” adalah sebuah hal yang niscaya. Tak ada satu-pun makhluk yang sempat menghirup (nafas hidup) tidak menjumpai kematian. Namun, “kematian” bukan-lah gerbang akhir dalam kehidupan. Ia merupakan pintu pertama untuk selanjutnya melewati perjalanan yang sangat panjang di kehidupan kedua – kehidupan yang sebenarnya, Akhirat.

            Karena itu, “kematian” patut digolongkan sebagai fenomenal-fenomenal pengingat bagi kaum manusia yang membangkang. Bahkan, hampir semua agama menganggap “kematian” adalah kelahiran baru untuk menuju kehidupan yang hakiki. Dunia adalah fana. Hidup dunia hanyalah sementara dan terbatas. Dalam ajaran Islam, seseorang yang mengingat “sebuah kematian – hal yang niscaya”, dapat mempertebal dompet keimanan kepada Allah Ta’ala.

            Meski kematian adalah suatu yang misteri dan sulit diketahui, bagi kalangan sufi (muslim mistikus) “kematian” dapat merubah seseorang semakin baik dalam perilaku lahir dan batin. Karena seseorang yang senantiasa mengingatnya, akan terus mempersiapkan bekal dan amalnya untuk dipertanggungjawabkan di tempat penghukuman di akhirat nanti. Walau begitu menakutkan dan mengerikan sebuah “kematian”, kaum manusia banyak yang melalaikannya. Mereka terlalu asyik dan terpesona dengan kelezatan dan kenikmatan dunia yang sementara ini.

            Tidak sebatas itu, ada sebuah kematian sebelum menjumpai kematian. Orang-orang sufi masa silam banyak yang memplokamirkan demikian. “Matilah sebelum kau mati?” prakata ini yang akan diulas dalam tulisan ini. Lalu, bagaimana hakekat “mati sebeum mati”?

            Prakata itu biasa diinformasikan dari rujukan syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam al-Fath al-Rabbani. Jaluluddin Rumi, sufi penyair Persia juga pernah menandaskan itu dalam Fihi Ma Fihi-nya. Sufi masa kini pula, KH. Achmad Asrori al-Ishaqi memiliki versinya sendiri.

            Menurut Al-Ishaqi, kematian diartikan dalam dua tipe. Pertama, kematian besar atau kematian indrawi. Kedua, kematian kecil atau kematian kejiwaan. Dari arti kematian itu, Al-Ishaqi menyusun konstruksi bahwa jihad (perang) di dunia berarti dua. Pertama, jihad kecil semestinya perang dengan pedang dan semacamnya. Kedua, perang besar yang merupakan perang melawan hawa nafsu.

             Dibilang “perang besar”, karena musuh dalam medan perang itu sangat dekat dan bahkan menempel dalam diri manusia itu sendiri. Sama halnya ia memerangi diri atau kemauannya sendiri.

            Islam memandang manusia diciptakan dengan pembawaannya hawa nafsu. Bukan seperti ajaran Budha tentang biksu, bahwa hawa nafsu dan syahwat dapat dimatikan atau dimusnahkan. Dalam ajaran Islam mistis atau Tasawuf, syahwat dan hawa nafsu memang memiliki hikmah tersendiri untuk diciptakan sebagai pembawaan, serta tidak dapat dihilangkan. Jika manusia tidak memiliki hawa nafsu dan syahwat, bagaimana ia dapat merasakan kelezatan makan atau merasakan pernikahan (sunah Rasul)? Inilah barometer bahwa Tasawuf bukan berasal dari ajaran pendeta dan Budha.

            Kembali pada perihal “mati sebelum mati’, KH. Achmad Asrori menyebutnya dengan term kahsnya “al-maut al-ikhtiyari. Sebelumnya, para sufi masa silam kerap kali menyebut itu dengan “memerangi hawa nafsu” dan semacamnya. Namun, bagi Al-Ishaqi berbeda dari mainstream. Bahkan “al-maut al-ikhtiyari” disebutkan olehnya sebagai pendakian atau maqamat pertama – hasil penelitian dalam tesis H. Abdur Rosyid. Tidak sebagaimana mainstream pemikiran kaum sufi yang menyebut “taubat” sebagai pendakian atau maqam pertama.

            Maqamat atau maqam adalah semacam istilah Tasawuf yang berarti kedudukan di hadapan Allah Ta’ala. Seorang sufi yang menjalankan sebuah pendakian spiritual, ia pastinya melewati “Maqam” dan “Ahwal”. Perbedaannya, “maqam” adalah kedudukan yang digapai melalui usaha dan ikhtiyar. Sementara “Ahwal” adalah kondisi psikis yang menghinggap pada hati seorang sufi (suasana hati), sesuai kedudukan yang ia tempati. Seperti Zuhud (maqam), Cinta atau mahabbah (ahwal).

            Al-Maut al-ikhtiyari adalah amal yang bersifat batin, di mana telah rekat dengan namanya “ikhlas” dan “pasrah untuk menerima”. Al-Maut al-ikhtiyari dapat dilakukan dengan:

1. Kematian merah, melawan hawa nafsu untuk tidak menjalankan hal-hal yang buruk.

2. Kematian hitam, menahan untuk melakukan hal kasar dan menyakiti. Tidak pernah merasa tersakiti dengan perlakuan orang lain, bahkan menikmatinya. Dengan cara itu, ia memandang orang lain sebagai seorang yang dicintainya

3. Kematian putih, lapar dan sering menyedikitkan makan. Agar dapat melemahkan gairah hawa nafsu dan syahwat.

4. Kematian hijau, memakai pakaian atau atribut-atribut apapun seadanya. Sehingga seseorang dapat menerima segala yang nikmat Tuhan. Serta, tidak ada keinginan untuk bermewah-mewahan.

Itulah yang dimaksud “mati sebelum mati” dalam pemikiran KH. Achmad Asrori al-Ishaqi. Metode ini sangat mudah tapi banyak untungnya. Bahkan menurutnya, orang tidur-pun masih dapat melakukannya.

Paling ringan untuk dijalankan dalam perihal al-maut al-ikhtiyari ialah dengan mempraktikkan anggapan bahwa hari yang dijalani sekarang adalah seakan hari terakhir ia hidup di dunia, langkahnya sekarang seakan langkah terakhir yang ia lakukan, pakaian yang dikenakan seakan kain kafan yang langsung membungkusnya, ranjang tidurnya seakan keranda yang membawanya ke liang  lahat dan rumah tempat tinggalnya seakan kuburannya.

Dengan itu, seseroang akan terbuka diri (hilangnya hijab) dan akan senantiasa memperbanyak amal baik. Seorang yang demikian bagi Al-Ishaqi dapat dibilang dengan “shalat yang dititipkan”. Artinya, secara lahir ia shalat, tapi dirinya ditipkan dan pasrah kepada Tuhan. Atau mengingat mati dalam shalat.

Ainul Yaqin

Founder (1) Komunitas HIKAM, mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *