Munkar-Nakir Bisa Bahasa Jawa(?)
Ditulis Oleh: Lifa Ainur Rahmah

Berkenaan dengan agama, – agama apapun – kita akan dirujuk pada referensi ajaran yang sama antar satu sama lain. Referensi-referensi itu seperti disetting satu nafas, satu tujuan, satu bidikan, meski disetting dengan cover yang berbeda; kebaikan.
Tidak ada agama yang mengajarkan apatisme. Tidak peduli antar sesama, menarasikan kekerasan, atau merusak apa yang dibentangkan Tuhan di alam semesta. Ajaran agama tidak punya itu. Ia hanya berorientasi pada kebaikan, kemanusiaan, dan teori apapun yang bertolakbelakang dengan kemunkaran.
Selain memproklamirkan kebaikan, agama juga mengkampanyekan wacana ‘Kehidupan akhirat’. Tentang bagaimana kehidupan manusia setelah mati, tentang bagaimana kondisinya setelah roh pergi dari jasad dan tidak kembali, bagaimana rohnya akan hidup meski jasadnya sudah ditimbun tanah, siapa yang akan menyambutnya? Siapa yang akan menemuinya? Kejadian apa yang akan menimpanya? Tiap agama punya jawabannya.
Hampir semua agama punya sesuatu yang disebut “Tempat penghukuman”. Tempat di mana jiwa-jiwa manusia kekal. Di dalam sebuah referensi dengan tulisan arab “hehe’ lebih jelasnya di Ihya ‘Ulumiddin-nya al-Ghazali, ditulis bahwa setelah meninggalkan jasad, roh akan digiring melintasi sebuah jembatan lebih tipis dari helai rambut, dan lebih tajam dari mata pedang. Terbentang di atas punggung tempat penghukuman yang bernama “neraka Jahannam”.
Ada tempat bernama Surga, dan pula ada serangkaian spiral yang menuju ke kegelapan. Amal baik selama di dunia, akan diembankan di tangan kanan, dan amal buruk, diselipkan di sisi kiri. Ketidakseimbangan antar keduanya, akan menyebabkan seorang terkait jatuh ke tempat yang sesuai dengan lakunya selama di muka bumi.
Ke-Kristenan percaya adanya hari penuh “Tangisan dan kertakan gigi”. Orang Yahudi menggambarkan sebuah gua yang cukup untuk menampung roh-roh. Jika sudah penuh, maka dunia akan kiamat.
Bagi orang Hindu, neraka bukanlah “tempat penghukuman yang abadi”, mereka percaya, bahwa di waktu-waktu tertentu, jiwa-jiwa akan bereinkarnasi, untuk menebus kesalahan-dosa mereka selama di muka bumi.
Orang Budha, orang China, juga memiliki gambaran yang berbeda tentang “tempat penghukuman” yang lebih akrab dengan kata “neraka”.
Dalam Islam, sebelum jiwa-jiwa itu dijebloskan ke neraka, atau digiring menuju surga, mereka harus melewati tes tertentu dari utusan Tuhan. Jauh sebelum itu, masih banyak pos ata semacam stasiun sebelum berada di pos Akhirat. Pos pertama mungkin akan dijumpakan dengan dua malaikat yang digambarkan bisa berpenampilan sesuai dengan amal perbuatan mayat yang akan diuji mereka. Atau bisa dibilang pos “alam kubur”.
Tes dilakukan tepat setelah jasad yang baru ditinggal roh dikebumikan, lalu ditinggalkan oleh sesiapa yang sebelum datang – mengurus proses pemakaman. Dua malaikat ini diutus Tuhan untuk memberi soal uraian, dan jawabannya sudah dibocorkan oleh orang yang mengurus jasadnya yang dingin dan beku sesuai prosedural agama (baca: Mudin atau semacamnya).
Banyak kisah dihidangkan tentang kejadian ini, kisah orang sholih bahkan thalih. Mulai dari mereka yang bisa melewati dua utusan Tuhan ini dengan sellow, sampai mereka yang menghadapi malaikat ini dengan gopo.
Di antara kisah yang sering diagungkan, adalah kisah Nyai Rabiah Al Adawiyah radhiya allah anhu, yang ketika satu pertanyaan pertama dilancarkan, berupa “Siapa Tuhanmu?”, blio malah nangis kejjer. Alasannya sederhana, Nyai Rabiah prihatin, lantas balik bertanya, “Bagaimana mungkin ada makhluk yang nda kenal Tuhan yang menciptakan segala apa”.
Dan masih ada beberapa ragam kisah unik lain, tentang bagaimana umat manusia selamat dari lumatan dua malaikat yang bisa saja bertindak brutal saat itu.
Ada beberapa pertanyaan yang diajukan dua malaikat ini. Di antaranya, man rabbuka, maa diinuka, man nabiyuka, maa qiblatuka, man imamuka, dan seterusnya. Semua pertanyaan yang disampaikan berbahasa arab, lantas bagaimana orang Jawa, Madura, dan sesiapa yang tak mengerti bahasa Arab menjawabnya?
Tapi, tunggu.. benarkah kedua malaikat tersebut berbahasa Arab? Berikut, ulasannya – dari hasil kajian rutin mingguan yang diadakan oleh Komunitas Hikam – yang semoga bisa tertulis secara runtut –
Jika dirunut pada kitab Syarh Nur al-Dzalam, karya Seikh Nawawi Al Jawi, dinyatakan bahwa, setelah proses pemakaman selesai, dan orang yang turut datang mengantar, pulang, akan datang dua malaikat yang menanyakan pertanyaan di atas. Tapi, tidak dijelaskan bagaimana jiwa tersebut akan menjawab, akankah dengan bahasa yang digunakan manusia, atau dengan bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dimengerti kalangan makhluk tak kasat mata.
Pertanyaan ini pernah mengambang, lalu diurai dengan jelas dalam Fatawa al Azhar – kitab yang biasa memuat dinamika umat, pemikiran keagamaan penuh konflik dan pelik – yang menuliskan pertanyaan seseorang, mengenai ‘bahasa apakah yang digunakan Munkar-Nakir nanti? Bahasa Surya-kah? Mesir-kah? Arab-kah? Ingris-kah? Atau justru pakai bahasa Jawa?
Fatwa di dalamnya menguraikan, dua malaikat ini, akan bertanya pada audiens, – eh, si arwah maksudnya, – dengan bahasa yang bisa dimengerti antar dua pihak. Artinya, bahasa yang digunakan tidak monoton pada bahasa tertentu.
Di lain redaksi, disebutkan pendapat yang satu nafas dengan pendapat tersebut, bahwa dialog antar mayat-malaikat dilakukan dengan bahasa tubuh. Sesuai dengan apa yang telah anggota badan kerjakan. Senada dengan narasi surat Al Nur, ayat 24.
يوم تشهد عليهم ألسنتهم وأيديهم وأرجلهم بما كانوا يعملون
Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S Al Nur: 24).
Dan jika merujuk pada tradisi Jawa, Mudin yang merawat-mengurus jenazah, akan melakukan proses talqin. Talqin berarti dikte. Sang Mudin akan mendikte mayat, tentang beberapa kalimat agar ditirukan si mayat.
Proses talqin, umumnya dilakukan di dua kondisi,sekarat-mati. Dalam kondisi kedua, talqin dilakukan setelah semua rangkaian pengurusan jenazah selesai, dan pak Mudin akan mendikte beberapa hal dengan posisi duduk di tepian gundukan tanah, di antaranya,
1. Wasiat pada si mayat mengenai jawaban pertanyaan kubur, 2. Mengingatkan orang-orang yang turut hadir untuk menjaga islam, iman, dan ihsan. Lalu, 3. Mendoakan si mayat agar mendapat ampunan Allah, atau minimal diringankan siksanya.
Pendikte-an ini dilangsungkan dengan bahasa yang (diusahakan) mampu dipahami si mayat. Dengan bahasa daerah, dan yang paling mudah tentunya, menimbang, dua malaikat tersebut akan bertanya sesuai dengan apa yang dipahamnya. Wallahu a’lam!.