Manusia Paripurna, Setelah Menikah?

Ditulis Oleh: Ainul Yaqin

Dari generasi ke generasi, kita semakin dihadapkan dengan pola hidup semakin bertransformasi. Manusia modern atau manusia sekuler – dalam isitlah abd Kadir Riyadi – semakin menghampakan kualitas segala tindakannya dari unsur-unsur suci. Kesenjangan itu membuat manusia merasakan ketidakmampuan dalam membedakan mana yang baik dan yang buruk.

            Sungguh jelas dalam konteks seni, ia dilinglungkan dengan ketidakmampuan itu. “Pornografi” baginya adalah seni. Inilah contoh kecil dari pengaruh sekularistik, hedonistik, materialistik bagi manusia sekuler.

            Membincang perihal pernikahan dalam Islam, kita pasti dijumpakan polemik “sang suami memiliki porsi empat istri”. Atau berkenaan dengan urusan rumah tangga bahwa “kaum laki-laki lebih unggul di atas kaum perempuan”.

            Soal manusia paripurna, tidak ada wacana beragam yang hanya kecuali membidik satu rujukan. Pada intinya, rujukan itu mengilustrasikan “kedekatan manusia dengan Tuhannya”.

            Kita berbicara soal idealitas – di sini. Dua bidikan yang disuguhkan mengenai pernikahan di atas. Memang, syari’at sendiri telah menentukan aturan seperti itu atau lebih jelasnya hukum alam. Tidak mau tidak, “marah pada suami yang berpoligami memang boleh, tapi jangan marah pada poligami sebagai aturan Syari’at” kata salah satu pengajar saya.

            Ulasan ini – oleh penulis – bukannya digiring pada peliknya kekayaan dunia Fiqh. Namun lebih cenderung pada persoalan unsur-organ dalam manusia dan sedikit dikorespondensikan pada kosmos – atau alam semesta.

            Lepas dari teori kabut “bahwa tata surya berasal dari awan gas raksasa” dan teori big bang “ bahwa alam semesta berasal dari ledakan dahsyat dan mengembang”, sebenarnya “manusia” berasal dari dua unsur atau dua alam. Unsur dimensi semesta dan unsur dimensi ketuhanan. Berdasarkan narasi firman:

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

“Alla>h Ta’ala berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shad: 75)

            Kedua tangan Tuhan di sana adalah dimensi alam semesta dan dimensi ketuhanan. Keterangan dikutip dari Fushush al-Hikam Ibn ‘Arabi dan al-Muntakhabat Achmad Asrori al-Ishaqi.

Jauh sebelum itu sebagai kerangka ulasan ini, hendak diketahui bahwa Sufiyah memandang alam semesta adalah pengejawantahan Tuhan. Lebih menariknya, “alam semesta adalah kreativitas Tuhan” kata Muhammad Iqbal.

            Lalu! Dari mana ada perihal pernikahan? Kok, bisa-bisanya dikaitkan ke situ!

            Tunggu dulu! Hehe. perlu diketahui manusia” di satu sisi berasal dari empat bahan dasar alam semesta. Air, tanah, api dan udara. Unsur “Api” dapat dilihat dalam narasi “tembikar atau tanah liat yang dibakar” dalam QS. Al-Rahman: 14. Unsur “tanah” sudah jelas sebagaimana kita ketahui, tepatnya di QS. Ali ‘Imran: 59. Unsur “air” bisa dilihat redaksi “thin atau lumpur atau tanah tercampur air” dalam QS. Al-Mu’minun: 12. Unsur “udara”, mungkin dilihat di QS. Al-Hijr: 26.

            Unsur “udara” mungkin butuh penjelasan lanjut. Jika diilustrasikan, tanah liat yang membentuk membutuhkan tiupan angin untuk dapat mengering dan mengeras.

            Sementara unsur ketuhanan – atau bisa dibilang roh atau qalb, hati – telah dititipkan oleh Tuhan dalam proses penciptaan manusia. Inilah satu sisi lain di atas. Jika tidak percaya, bisa dilihat pada kandungan firman:

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,.”(QS. Al-Hijr: 29)

            Qalb atau roh adalah dua nama satu makna. Ia merupakan organ dalam manusia. Organ satu ini memang tidak dapat dilihat indrawi, tapi memang ada. Masih tidak percaya lagi (hehe), bagaimana kita bisa merasakan cinta atau patah, senang atau sedih? Namun, jika dibedah sekalipun (dada manusia), tidak akan kau jumpakan organ qalb itu; semisal mau mengobatinya.

            “Manusia” (dari lahir) memang telah memikul sifat-sifat yang berbeda-beda, bahkan tidak dapat dihilangkan. Ini mungkin lantaran campur-aduknya empat unsur alam semesta dalam proses penciptaan kita. “bisa makan” sifat hewani, “bisa marah” sifat buas, “bisa iri” sifat setan. “ingin dimuliakan” sifat meninggi.

            Justru sifat-sifat ini kita kerap kali menyebutnya sifat manusiawi. Meski begitu, “manusia atau kita” bukannya tidak berpeluang menjadi manusia paripurna. Caranya! Nikahkanlah unsur-unsur itu semua tadi. Unsur ketuhanan (roh) vs unsur alam semesta (empat elemen dasar).

            Bagi kalangan sufi (muslim mistikus), roh atau qalb disebut “unsur ketuhanan” karena ia dapat merasakan kehadiran Tuhan. Dari situ, shalat dengan khusu’ layaknya beribadah melihat-Nya.

            Kembali pada persoalan “nikah”, tanpa disadari telah terjadi pernikahan poligami dalam diri “manusia”. Jelasnya, nikah sirri, hehe (baca: bukan dalam konteks Fiqh). “Kita atau manusia” tercipta dari gabungan unsur ketuhanan (roh atau layaknya suami) vs empat elemen dasar (layaknya empat istri).

            Lalu, tugas kesadaran “manusia” ialah bagaimana roh dapat unggul di atas empat elemen dasar itu. Sama halnya dengan narasi “kaum laki-laki lebih unggul di atas kaum perempuan”. Masih berbicara secara idealitas, memang seharusnya suami adalah raja dan pemimpin dalam rumah tangga.

            Bukan sembarangan dan mengada-ada, ruhani manusia jika telah mengalahkan sifat manusiawinya, ia dapat menggapai kedekatan bersama Tuhan. lalu dengan kesadaran itu, manusia dapat khusu’ dan dapat berkoneksi dengan Tuhan.

            Setelah melalui proses inilah, manusia menjadi “manusia paripurna” atau “insan kamil”. Di mana ia menggapai kedekatan bersama Tuhan.

            Bahkan! Kesadaran itu dapat diperluas. Menyadari alam semesta di sekitar sebagai tanda kebesaran Tuhan. “Alam semesta adalah pengejawantahan Tuhan”. karena “manusia paripurna” sadar bahwa dirinya adalah mikrokosmos. Ia menghimpun sekaligus dalam dirinya unsur alam semesta dan ketuhanan.

            Bagi agama kristen-pun, walaupun alam bukan Tuhan, tapi alam adalah tan-tanda-Nya. Manusia boleh mengelolah dan menguasai alam, tapi juga harus merawat dan memeliharanya.

            “Manusia paripurna” – yang diimpi-impikan – ini dipastikan melestarikan korespondensinya bersama alam semesta. Di samping, ia sebagai miniatur atau ringkasan kecil daripada alam semesta.

Ainul Yaqin

Founder (1) Komunitas HIKAM, mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *