Puasa Setelah Nisfu Sya’ban, Bolehkah?

Ditulis Oleh: Nur Safitri

Sya’ban merupakan penamaan terhadap salah satu bulan dalam kalender Hijriyah di mana keluasan sudut pandang seseorang melahirkan banyak sekali prespektif dalam memaknainya. Menurut syaikh Husain Muhammad kata “Sya’ban” ini berarti “berpisahan” di mana saat itu orang-orang Arab berpisah-pisah untuk mencari air, kata “Sya’ban” ini juga memiiki arti “perpecahan” di mana saat itu terjadi perpecahan dalam penyerangan, dijelaskan pula bahwa kata “Sya’ban” ini memiliki makna ”muncul” yang berarti muncul di antara 2 (dua) bulan yaitu bulan Ramadhan dan Rajab.

Berada di antara 2 (dua) bulan yang mulia, yakni bulan “Rajab” dan “Ramadhan”. Syaikh Abu Bakr al Balkhy memberikan perumpamaan 3 (tiga) bulan ini seperti proses perolehan penuaian hasil panen, sehingga bulan Rajab merupakan bulan di mana mulai ditanamkannya bibit, kemudian bulan Sya’ban merupakan proses perawatan dan penyiramannya, dan bulan Ramadhan merupakan penuaian hasil panennya.

Di antara rutinitas Rasulullah Saw pada bulan Sya’ban adalah berpuasa. Terdapat banyak sekali riwayat terlebih dari Aisyah (salah satu istri tercinta Rasulullah Saw) yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw gemar berpuasa di bulan Sya’ban bahkan sampai sebulan penuh. Sehingga dalamsebuah riwayat dari Aisyah mengatakan bahwa di antara bulan yang Rasulullah paling suka untuk berpuasa di dalamnya adalah bulan Sya’ban dan terus bersambung sampai bulan suci Ramadhan.

Para ulama’ memiliki banyak pandangan mengenai asbab mengapa Rasulullah Saw banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Di antaranya mengatakan bahwa dibalik kebiasaan Rasulullah Saw dalam jumlah puasa yang begitu banyak ialah untuk mengganti puasa-puasa sunah di bulan lainnya, sebab beliau disibukan dalam keadaan safar (dalam perjalanan). Penjelasan lainnya mengatakan bahwa motiv Rasulullah Saw banyak berpuasa di bulan ini ialah untuk mendorong istri-istrinya dalam memenuhi hutang puasa Ramadhan sebelumnya, seperti Aisyah yang mengakhirkan qodho’ puasa Ramadhannya di bulan Sya’ban, sebab ia disibukan untuk selalu melayani Rasulullah Saw.

Ketika Usamah bin Zaid mempertanyakan tentang jumlah puasa Rasulullah Saw yang begitu banyak pada bulan Sya’ban, beliau Saw mengatakan bahwa “di sanalah bulan di mana manusia menjadi lalai karena bulan Sya’ban berada di antara bulan Rajab (syahrul haram) dan bulan Ramadhan (syahrus siyam), dan pada bulan itulah amal-amal dihaturkan kepada Allah Swt tuhan semesta alam. Sedangkan aku (baca: Rasulullah) lebih senang berpuasa ketika amalku sedang dilaporkan.”. Sehingga ketika umat manusia lainnya menjadilalai karena disibukan dengan kedua bulan tersebut, sebaliknya Rasulullah Saw malah memperkokoh ketaatannya dengan banyak berpuasa.

Dapat disimpulkan pula bahwa puasa  Sya’ban merupakan kesunahan yang sangat dianjurkan, sebab pada setiap kewajiban akan selalu bergandengan dengan kesunahan yang menyertainya, seperti kewajiban salat fardu yang selalu bergandengan dengan kesunahan salat qabliyah dan ba’diyah.

Kesimpulan bahwa puasa Sya’ban yang dilakukan oleh Rasululah SAW merupakan puasa yang dilakukan lantaran adanya suatu sebab. Larangan berpuasa pada separuh akhir bulan Sya’ban banyak ditemukan pada redaksi Syafi’iyah. Bersumberkan pada hadis Abu Hurairah:

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا

“Ketika separuh bulan Sya’ban telah berlalu maka janganlah kalian berpuasa”

Hadis ini dinilai shahih oleh imam Tirmidzi, imam al Ha>kim, imam al Tah}a>wi, imam al Alba>ni dan lainnya. Sedangkan dalam beberapa pendapat lain juga mengatakan bahwa hadis ini merupakan hadis yang dhoif, atau bahkan mengkategorikan hadis ini sebagai hadis munkar, seperti pendapat imam Ahmad dan imam al Athram. Namun hadis ini tidak dapat cukup dipahami tanpa dikomparasikan dengan redaksi hadis-hadis yang lain, Syafi’iyyah tidak memahami hadis ini dengan dangkal, tidak memukul rata larangan puasa ini pada kondisi apapun. Artinya, terdapat beberapa pengecualian dalam larangan puasa semacam ini.

Imam al Nawawi dalam kitabnya “Riyadhus Salihin” secara khusus merincikan larangan ini dalam salah satu bab, yakni bab yang menjelaskan mengenai larangan berpuasa setelah nisfu Sya’ban hingga Ramadhan kecuali dengan menyambung puasa dari sebelum nisfu Sya’ban atau telah terbiasa puasa, seperti puasa sunah senin dan kamis. Di antara hadis yang dicantumkan dalam bab ini adalah hadis ang diceritakan oleh Abu Hurairah:

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

Syaikh al Qurtubi juga mengkolaborasikan (al Jam’u) kedua hadis di atas bahwa hadis kedua merupakan spesifikasi hadis pertama. Sehingga keberlakuan larangan yang tertera pada hadis pertama dapat dikesampikan jika seseorang telah berada pada kondisi yang sesuai dengan hadis kedua.

Maka 2 (dua) kondisi yang dapat menghilangkan larangan puasa setelah nisfu Sya’ban dan yaum syak adalah:

1. Menyambungkan puasanya sehari sebelum yaum syak.

2. Telah membiasakan diri untuk berpuasa sedari sebelum nisfu Sya’ban.

Ditemukan penjelasan lebih detail lagi dalam fatawa al fiqhiyyah al kubra mengenai pemaknaan kebiasaan dalam pengecualian di atas. Bahwa secara global kebiasaan berpuasa terbagi menjadi 2 (dua) keadaan, yakni mereka yang terus membiasakan berpuasa tanpa mengkosongkan satu hari pun dalam kebiasaannya dan mereka yang mengkosongkan puasa di antara kebiasaanya dalam berpuasa (baca: bolong).

Pertama, mereka yang rutin berpuasa hingga telah menjadi kebiasaan tanpa mengkosongkan (bolong) satu hari pun, maka tentu puasa setelah nisfu Sya’ban bagi mereka tidak lagi terlarang. Sedangkan bagi mereka yang mengkosongkan (bolong) puasa di antara kebiasaannya terperinci menjadi 3 (tiga) keadaan yaitu:Mereka yang telah berpuasa sekali dan mengkosongkannya selama berminggu-minggu sampai pada nisfu Sya’ban, maka mereka tidak diperbolehkan puasa setelah nisfu Sya’ban karena ketetapan kebiasaannya telah gugur.

Kedua, mereka yang baru sekali memulai puasanya tepat sebelum nisfu Sya’ban, maka mereka boleh berpuasa setelah nisfu Sya’ban, sebab tidak ada kekosongan dalam proses pembiasaannya dan pada saat itu telah ditetapkan pembiasaan. Bahkan seandainy aberpuasa tepat di tanggal 15 Sya’ban, lalu meneruskannya sampai akhir bulan, maka diperbolehkan.

Ketiga, mereka yang telah terbiasa berpuasa selama berminggu-minggu dan juga telah mengkosongkannya selama berminggu-minggu, maka mereka ini boleh melaksanakan puasa setelah nisfu Sya’ban, sebab makna pembiasaan bagi seseorang tersebut tidak tergugurkan.

Adapun membayar hutang puasa setelah nisfu Sya’ban telah dijelaskan dalam syarah al Jami’ al Shagir bahwa larangan ini hanya diberlakukan pada puasa yang tidak memiliki sebab. Artinya, tidak dapat diberlakukan pada puasa wajib seperti puasa qodho, karena kewajiban qodho inilah yang menjadi sebab berpuasa. Sehubung puasa di hari-hari tersebut merupakan puasa yang dihukumi haram, maka puasa nadzar tidaklah sah hukumnya. Sebagaimana bernadzar puasa di hari Tasyriq atau hari ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri.

Akan tetapi puasa setelah nisfu Sya’ban terdapat khilafiyah yang juga mempengaruhi hukum puasa nadzar saat itu.

Nur Safitri

Pegiat bahasa dan mahasantri Ma'had Aly Al Fithrah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *