Bukankah Al-Qur’an Mengakui Makna Kata ‘Budak Cinta”?
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin

“Cinta” memang sebuah perasaan atau sebuah tabiat bahkan saya menyebutnya roh yang merasuki isi pikiran dan menyita seisi pikiran itu. Saya menyebutnya “roh” karena sifatnya yang bukan materi melainkan immateri atau abstrak. Realitas-realitas yang menafsirkan pemilik cinta berubah total dalam tindakan dan bertansformasi, merupakan arti “merasuki” bagi saya. Sang pemilik cinta senantiasa melakukan segalanya sesuai keinginan kekasihnya atau yang dicintainya. Jika anak-anak sekarang, kerapkali kita dengar “bucin atau budak cinta”. Atau yang lebih terlihat menusuk ialah “cinta itu buta, cinta membuatmu buta”.
Tetapi yang perlu diketahui, secara garis besar dalam diri manusia “keinginan” atau “suka” dapat diartikan dalam dua tipe; hawa dan mahabbah. Dalam gaya bahasa dan makna, keduanya memang sama, namun hanya memiliki perbedaan tipis. Kaum sufi yang lebih dikenal sebagai pakar dalam urusan hati memberikan indikator di sana. Bahwa cinta adalah ketika kamu mencintai seseorang karenanya dan segala yang disenanginya, sementara hawa ialah ketika kamu mencintai seseorang karena dirimu sendiri dan segala keinginanmu sendiri.
Demikian juga dapat dipetik dalam sebuah cerita tentang Gus Mus saat dihadapkan dengan masakan istrinya. Saat itu, Gus Mus hanya mencicipi satu sendok makan, sehingga membuat istrinya menangis pecah dan mengadu pada mertuanya. Usai istrinya bercerita kejadian itu, akhirnya Ibu daripada Gus Mus atau mertua istrinya sontak tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui menantunya memasak opor ayam. “Kok tidak nanya-nanya dulu, suamimu itu tak suka makanan yang berkuah. Sukanya sambal” ujar Ibunya Gus Mus.
Orang-orang seringkali mengalami kesalahpahaman dalam mencintai Tuhan. mereka mengartikan Tuhan menurut parameter pemikiran mereka sendiri-sendiri. Meski di situ ada semangat cinta, tapi tidak bisa dibilang mereka mengenal-Nya atau arti cinta mereka adalah benar. Hal ini yang sering memicu pertingkaian akibat keegoisan dalam memegang pemikiran. Petikan kisah Gus Mus tadi pula mengilustrasikan arti cinta yang dimaksud. Sang istri yang cinta pada suaminya harus memasak sesuai keinginan suaminya.
Narasi “bucin atau budak cinta” atau “cinta itu buta, cinta dapat membutakanmu” memang ada benarnya. Dari dulu, sebodoh apapun seseorang pasti menyebut “cinta dapat membutakan”. Kaum sufi-pun mengakui bahwa cinta bersifat melebur. Al-Junaid juga menandaskan tentang cinta dalam arti melebur dengan narasinya “cinta kepada Allah Ta’ala ialah menyerahkan diri secara totalitas kepada-Nya”. Bagi saya, “budak cinta” lebih cenderung berarti budak pada yang dicintainya, bukan pada “cinta”. Namun dari aspek linguistik Arab atau Nahwu, menggunakan masdar dalam menggantikan isim sifat dapat memiliki arti yang lebih mendominan atau menguatkan arti. Sebagaimana contoh “qama zaidun al-‘aqlu” lebih kuat makna sifatnya daripada “qama zaidun al-‘aqilu”. Jadi, bunyi olokan ini boleh salah dan boleh saja benar.
Saya tertarik mengulas tentang ini dengan alasan Al-Qur’an sendiri juga mengakuinya. Gaya sistematika matematis Al-Qur’an menawarkan kesimpulan yang sepaham di atas tentang “budak cinta”. Gaya sistematika ini ditinjau dari artikulasi dua kosa kata atau lafadz yang bertentangan, semakna atau berhubungan dengan porsi penyebutan yang sama. Para pakar biasa mengategorikan kajian ini dalam i’jaz matematis. Sebuah hasil perkembangan tentang i’jaz yang sebelumnya ialah i’jaz ‘ilmi. Keajaiban-kekaguman seperti ini mengindikasikan bahwa keindahan Al-Qur’an tidak hanya pada sistematika bahasanya. Terlebih, Al-Qur’an adalah mukjizat ‘aqli atau bersifat yang bisa dipikirkan dan ditadabburi sehingga terus abadi sampai hari Akhir esok. Lain halnya dengan mukjizat nabi-nabi sebelum Muhammad SAW, yang merupakan mukjizat hissi atau bersifat indrawi. Mukjizat-mukjizat akan sirna bersama dengan kematian sang nabinya. Dalam Al-Qur’an, “mahabbah” dan “ta’at” dibunyikan dalam jumlah porsi yang sama, yaitu 83 kali.
Jika dirincikan (keterangan dalam karya Abdur Rozak Noval dengan judul al-I’jaz al-‘Adadi li al-Qur’an al-Karim), “yuhibbu” disebutkan dengan porsi 41 kali, “tuhibbun” disebutkan dengan porsi 7 kali, “yuhibbuna” dibunyikan dengan porsi 5 kali, “hubb” dengan porsi 4 kali, “istahabbu” dengan porsi 3 kali, “hubban” dengan porsi 3 kali, “ahabbu” dengan porsi 3 kali, “ahbabtu” dengan porsi 2 kali, “hubbihi” dengan porsi 2 kali dan terakhir lafadz-lafadz yang musytaq dari mahabbah dibunyikan satu kali masing-masing. Yaitu “habbaba”, “uhibbu”, “tuhibbu”, “tuhibbunaha”, “tuhibbunahum”, “yuhbibkum”, “yuhibbuhum”, “yuhibbunakum”, “yuhibbunahu”, “yastahibbuna”, “ahibba u”, “mahabbatan” dan “yuhibbunahum”. Seluruhnya jika dioperasikan penjumlahan, maka:
“41+7+5+4+3+3+3+2+2+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1= 83 kali”
Begitu juga “ta’at”, secara keseluruhan disebutkan dengan jumlah porsi 83 kali dalam Al-Qur’an. “Athi’u” disebutkan dengan porsi 19 kali, “athi’u” disebutkan dengan porsi 11 kali, “atha’na” disebutkan dengan porsi 8 kali, “tuthi’ dibunyikan dengan porsi 8 kali, “yuthi” dengan porsi 6 kali, “tuthi’u” dengan porsi 5 kali, “thau’an” dengan porsi 4 kali, “tha’atun” dengan porsi 3 kali, “tuthi’huma” dengan porsi 2 kali, “yutha’u” dengan porsi 2 kali dan terakhir juga ada lafadz-lafadz yang musytaq dari ta’at dibunyikan satu kali masing-masing. Yakni “atha’a”, “atha’una”, “atha’uhu”, “atha’tum”, “atha’tumuhum”, “atha’nakum”, “tuthi’hu”, “tuthi’uhu”, “nuthi’u”, “sanuthi’ukum”, “yuthi’ukum”, “yuthi’una”, “athi’na”, “thai’ina” dan “mutha’in”. Semuanya jika dioperasikan penjumlahan, maka:
19+11+8+8+6+5+4+3+2+2+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1+1= 83 kali.
Dua jumlah porsi yang sepakat ini dari kedu alafadz tersebut memberikan arti bahwa keduanya dalam posisi setngkat. Mahabbah adalah ta’at atau mahabbah dapat menumbuhkan keta’atan. Term ini tidak lain kecuali ditujukan kepada Allah Ta’ala. Jika ada seorang hamba yang cinta kepada Tuhan, niscaya ia melakukan segala apa yang diridoi-Nya (disukai-Nya). Meski warna atau kostum dari cinta itu beraneka ragam, seperti kedekatan, ketakutan, keralaan atau bahkan kemesraan sebagaimana yang yang dijelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Abu Hamid al-Ghazali.