Satu Makna: Ungkapan Bervariasi
Ditulis Oleh: Ainul Yaqin
Tidak hanya orang-orang yang dirasa belum begitu mendalam akan khazanah keislaman, bahkan kalangan ulama’ dan para pakar-pun sempat dibuat kebingungan oleh para sufi yang dibilang nyentrik dengan “ungkapan-ungkapan” mereka. Mungkin bagi penggiat kajian Tasawuf, sangat akrab dengan tokoh yang bernama al-Hallaj (w. 309 H) dan Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H). Bagaimana tidak demikian? Jika diukur pada perihal ketekunan dalam beribadah dan keilmuan agama, kedua tokoh ini tidak bisa dianggap kalah dengan yang lain.
Tidak hanya orang-orang yang dirasa belum begitu mendalam akan khazanah keislaman, bahkan kalangan ulama’ dan para pakar-pun sempat dibuat kebingungan oleh para sufi yang dibilang nyentrik dengan “ungkapan-ungkapan” mereka. Mungkin bagi penggiat kajian Tasawuf, sangat akrab dengan tokoh yang bernama al-Hallaj (w. 309 H) dan Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H). Bagaimana tidak demikian? Jika diukur pada perihal ketekunan dalam beribadah dan keilmuan agama, kedua tokoh ini tidak bisa dianggap kalah dengan yang lain.
“Ana al-haq” (saya adalah Yang Maha Benar) satu kalimat singkat yang dianggap sebagai narasi al-Hallaj dan pernah menggemparkan kerajaan Abbasiyah di masa Khalifah al-Muqtadir al-Abbasy (w. 320 H). Bahkan ada yang lebih terlihat ekstrem, seperti ungkapan “subhani ma a’dzama sya’ni” (Maha Suci Aku, Alangkah Agung Diriku) dalam narasi Abu Yazid al-Busthami. Narasi-narasi semacam ini yang sempat mampir dalam dunia kontroversial.
Beberapa mistikus Islam dalam negri-pun, tidak bisa dikatakan sedikit yang pernah meninggalkan jejak-jejak kontroversial dan terekam hingga sekarang. Istilah “manunggaling kawulo gusti” (penyatuan hamba dan Tuhan) yang tak asing dipropagandakan oleh para penelusur sejarah wali-wali Nusantara. Sebagaimana orasi syekh Siti Jenar “ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati” atau “Ora ana pangeran anging ingsoen, sadjatining dhat kang maha soetji” dalam redaksi Serat Wirid Hidayat Jati Ranggawarsita.
Mengikuti alur perdebatan, ada sebagian pembela al-Hallaj dan al-Busthami yang menganggapnya sebagai distorsi penisbatan. Bahkan dalam komentar imam al-Sirhindi, narasi dan ungkapan ini berada di luar kesadaran manusia normal (wahdatus syuhud: dalam istilahnya).
Sebaliknya, malah banyak stigma dan tuduhannya negatif, kafir atau sesat yang terlemparkan terhadap mereka. Namun, lepas dari pedebatan di atas bukan berarti tidak mengakuinya, penulis lebih menghemat dengan statement-nya “kerelaan namamu tergantikan oleh nama kekasihmu”. Di mana semua hanyalah variasi warna daripada ilustrasi mahabbah, cinta.
Statement ini berangkat dari keterangan al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulumudddin. Kendati-pun nampak berbeda kondisi psikis satu per-satu seorang sufi, menurutnya, mahabbah atau cinta adalah puncak perjalanan rohani yang dilalui kaum sufi. Setelahnya atau perbedaan kondisi psikis tersebut hanya bentuk warna-warni dari akar dasarnya, yaitu cinta. Semisal ada satu sufi yang terlihat senang berdzikir, ada satu sufi yang senang berbujangga syair-syair, ada satu yang selalu dalam kesedihan dan selainnya. Tentunya, al-Hallaj atau al-Busthami telah mengental dengan yang disebut “cinta” dalam ungkapan-ungkapan mereka. Bagi kedua tokoh ini, Tuhan adalah kekasih mereka. Sehingga, rela-rela saja nama mereka sampai terlupakan dan tergantikan oleh nama kekasih mereka, Allah Ta’ala.
Dalam rangkaian ringan yang juga menginspirasi opini penulis “kau adalah aku, aku adalah kau, kauku”, narasi yang pernah dijumpainya di postingan instagram Candra Malik, cukup meyakinkan penulis untuk menelanjangi tulisan ini di mata publik.
Memang, cinta sendiri adalah sebuah perasaan yang dapat meniadakan segala yang selain dicintai. Sepenggal keterangan al-Syibli (w. 334 H), salah seorang sufi – yang dicantumkan dalam redaksi kitab al-Risalah al-Qusyariyah. Dari sini, setingkat “nama”-nya sendiri akan dilupakan oleh yang memilikinya, apalagi hal-hal yang berada di luar dan sekitar dirinya.
Secara analogi kehidupan, akal sehat manusia tidak hanya mengakui hal ini, sedikit rentetan penjelasan di atas. Bahkan merupakan suatu keadaan yang dirasa sangat bahagia menurutnya, ketika namanya tergantikan oleh nama seseorang yang dicintainya atau sang kekasihnya.
Lebih mudahnya, sebut saja “Wardi”, sebenarnya ia bersembunyi dengan hati yang bergejolak gembira, ketika ia dipanggil dengan sebutan “Asna”, nama seorang yang dicintainya atau sang kekasih. Lebih halnya, jika dua nama tersebut di-tarkib menjadi sebutan “Heh, Wardi Asna”. Kiranya, deretan kaum sufi di atas, al-Hallaj, al-Busthami atau syekh Siti Jenar sedemikian rupa terhadap Sang Kekasih, Allah Ta’ala. Hingga ungkapan-narasi mereka keluar dari ruang kesadaran dan menjadi spontanitas, bagi kebiasaan hidup mereka. Sebagaimana yang dimafhumi, sebuah profesi yang telah menjadi hobbi atau kebiasaan seseorang, itu mungkin saja karena ia senang. “Berkarya dengan hati” kurang lebih seperti itu ungkapan motivasi para penulis.
Bagi penulis, konstruksi pemahaman dalam tulisan ini juga dibilang gaya pembelaannya terhadap tokoh-tokoh kontroversial di atas.