Islam Dalam Peranan Instrumen Analisis Sosial

Ditulis Oleh: TIm Redaksi

Sumber: https://hikamadress99.blogspot.com/

Tidak dapat dipungkiri, realitas sosial selalu mengalami perubahan. Manusia sendiri-pun adalah makhluk sosial yang kehidupannya tidak akan terlepas dari interaksi antara satu sama lain. Interaksi sosial dengan kebudayaan, dengan suatu bangsa dan juga dengan era globalisasi menjadi hubungan yang dapat mempercepat laju perubahan sosial. Pastinya, sangat jauh berbeda antara nilai lama dengan nilai baru. Akan tetapi fenomena ini juga menjadi dampak serius terhadap pranata hukum Islam. Terlihat, mengkristalnya kesenjangan antara sebuah konsep dari hukum Islam yang telah mapan, terbentuk dengan realitas sosial.

Bagi kalangan muslim, Al-Qur’an dan Sunnah telah diakui sebagai sumber utama hukum Islam. Namun,  Apakah berakhirnya nuzul al-qur’an dan finishnya dokumentasi hadits masih dapat merespon segala permasalahan kemasyarakatan atau realitas sosial yang terus berlanjut dan berubah sesuai perubahan sosial? Apakah berbagai macam bentuk adat yang terbentuk sebagai realitas sosial dapat dicari rujukannya dalam kedua sumber ini berdasarkan apa yang terekam pada zaman Rasulullah SAW?

Memang pada zaman Rasulullah SAW, segala permasalahan sosial dapat teratasi hukum Islamnya, cukup dengan dihaturkan kepada pembawa syari’at, Rasulullah SAW. Bahkan pada masa itu, realitas sosial yang mengalami perubahan dengan datangnya Islam, zaman jahiliah menuju zaman yang terang. Tetapi, mengapa para ulama’ berani memperbarui hukum Islam? Sepertinya, hal ini samahalnya Islam yang mengalami perubahan bukannya Islam yang membawa perubahan.

Al-Qur’an yang menempati posisi sebagai sumber utama dalam Islam sebenarnya memiliki kandungan yang luas. Kedudukan Al-Qur’an sebagai kalam Allah Ta’ala mengindikasikan bahwa semestinya Al-Qur’an diposisikan sebagai sumber dari berbagai ilmu. Turunnya Al-Qur’an sebagai tibya>n menunjukkan bahwa kandungan ayat-ayatnya dapat menghabiskan segala ilmu, baik kandungan lahirnya atau kandungan yang tersirat. Dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an diterangkan bahwa kandungan Al-Qur’an memuat penjelasan apapun. Banyak para pakar yang telah menemukan berbagai bidang ilmu lain yang terkandung  di dalamnya, seperti ilmu kedokteran, arsitektur dan sebagainya.

Rasulullah SAW yang memiliki misi menjelaskan kandungan Al-Qur’an, telah menutupi keraguan yang telah dipengaruhi stigma konservatif-nya as-sunnah. Mafhum pula, bahwa amanah utusan terakhir Allah Ta’ala ini sangat agung di muka bumi, yaitu sebagai panutan seluruh umat di segala penjuru hingga hari akhir nanti. Islam disebut agama yang paling semupurna, tidak lain hanyalah karena keuniversal-an sumber utamanya, Al-Qur’an dan sunnah. Umat Islam-pun telah mengakui, jika ingin menjumpai segala yang diekspresikan Rasulullah SAW, dapat ditemukan dalam rekaman as-sunnah.

Perkembangan zaman menuntut hukum Islam (fiqih) pada umumnya membuka ruang masuknya ijtihad. Sebab di setiap tempat terdapat perbedaan fakta sosial yang terlihat. Dalam masalah penetapan hukum Islam, perlu adanya metode ilmiah yang mempertimbangkan dari pelbagai kronologi yang terjadi di masa itu. Dengan berkembangnya permasalahan kemasyarakatan, para intelektual Islam (baca: ulama’) terdorong merumuskan sebuah metode dalam mencetuskan hukum Islam. Sebagai pewaris nabi dan seorang mujtahid, kalangan ulama’ sangat pantas membuahkan berbagai representasi kandungan Al-Qur’an dan as-sunnah. Di samping rujukannya akan tetap terpusat pada kedua sumber ini, fenomenal buah pemikiran mereka adalah bentuk aktualisasi dalam mendinamiskan isi yang di bawa Al-Qur’an dan as-sunnah.

Perumusan para mujtahid (baca: para pakar Fiqh) yang tersusun dalam bentuk disiplin Ushul Fiqh bukan sebuah penelitian yang cuma-cuma. Bidang kajian ini mereka gunakan sebagai salah satu instrumen dalam menentukan sebuah hukum, ketika membaca sebuah realitas kemasyarakatan. Sangat perlu diketahui pula, isi ayat-ayat Al-Qur’an dan as-sunnah masih memberikan ruang untuk dimasuki ijtihad. Karena yang dinamakan “dilalah” (petunjuk) sendiri ada yang bertaraf qath’i (pasti) dan dzanni (prasangka).

Tidak hanya itu, hukum Islam sendiri masih terdapat dua terma di sana. Ada yang beristilah syari’at dan ada yang bernama Fiqh. Keduanya memang sama-sama berkaitan dengan arti hkum Islam. Namun, masih memiliki perbedaan dapat dijadikan pertimbangan. Perbedaannya ialah bahwa syari’at adalah hukum Islam yang berlaku sepanjang masa, sedangkan Fiqh merupakan produk perumusan konkret hukum Islam yang diaplikasikan pada suatu kondisi dan kronologi tertentu.

Maka, buah pemikiran para mujtahid (baca: pakar Fiqh) yang selalu berpeluang menerima pembaharuan sesuai tuntutan perkembangan zaman ialah Fiqh. Keduanya sama-sama bersumber pada Al-Qur’an dan as-sunnah. Dari sini, kandungan Al-Qur’an dan as-sunnah dalam bentuk produk Fiqh akan tetap berlaku dalam menerima tuntutan perubahan realitas sosial sesuai perkembangan zaman.

Lalu, Apakah Islam yang membawa perubahan terhadap realitas sosial atau fakta sosial yang membawa perubahan terhadap hukum Islam? Pada prinsipnya, kedua titik pembahasan tersebut dapat dikatakan “benar”. Islam dapat membawa perubahan terhadap sosial kemasyarakatan, jika aturan atau hukum Islam tersebut telah ditaati, terbentuk sebagai adat kebiasaan dan menjadi pegangan masyarakat. Hukum Islam yang diserap sebagai hukum positif oleh suatu negara adalah bentuk daripada Islam membawa perubahan pada realitas sosial.

Dalam catatan sejarah, kedatangan Rasulullah SAW dan Islam membawa perubahan terhadap masyarakat pada masa itu. Tanpa dijelaskan dengan panjang lebar, perubahannya berupa dari era Jahiliah menuju era Islam yang terang-benderang. Para pakar sejarah menegaskan bahwa peradaban di kedua era ini sangat berbeda dan layaknya mengalami perubahan dengan kedatangan Islam.

Adanya produk-produk Fiqh yang baru melalui proses mempertimbangkan perubahan sosial, telah menjawab titik pembahasan yang kedua. Buah pemikiran para mujtahid yang sekarang dapat dikonsumsi sudah menggambarkan bahwa realitas sosial membawa perubahan terhadap hukum Islam di sana. Pada masa khulafa’ur rasyidin semisal, sayyidina Umar bin Khattab menetapkan eksekusi bagi peminum memabukkan dengan jumlah 80 kali pukul. Produk penetapan ini berbeda dengan keputusan Rasulullah SAW yang mengeksekusi orang-orang demikian dengan 40 kali pukul. Fenomena sosial-lah yang telah merubah keputusan ini dan menjadi alasan bagi kronologi keputusan sayyidina Umar bin Khattab.

Pada waktu, munculnya gejala yang dialami masyarakat yang mulai menganggap ringan terhadap eksekusi yang telah diterapkan. Instrumen yang dapat dipergunakan untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an dan as-sunnah ialah ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Mengenai kandungan yang tersembunyi dalam Al-Qur’an, para konsumen dapat menangkapnya melalui hasil pemikiran ulama’ yang berupa kitab-kitab Tafsir. Ushul Fiqh-pun dapat berguna sebagai media dalam menggali dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan as-sunnah yang selanjutnya dipergunakan untuk melahirkan sebuah produk yang dinamai hukum Fiqh.

Sumber: Hasil Kajian Literasi Antar Mahasantri (KALAM) Komunitas HIKAM

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *