Spiritualitas Pernikahan Islam

Ditulis Oleh: Tim Redaktur

Sumber: https://hikamadress99.blogspot.com/

Telah mengakar sebagai syari’ah islam, sebuah konsep pernikahan yang menginformasikan kaum laki-laki memiliki hak porsi empat istri, tidak sebaliknya. Nash-nash syar’i-pun telah mendokumentasikan konsep pernikahan semacam ini, salah satunya bunyi ayat :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

       “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil erhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS. Al-Nisaa’: 3)

Akan tetapi, konsep pernikahan demikian memberikan dampak keresahan bagi hak kaum wanita. Karena menurut mereka, jarang sekali ditemukan seorang laki-laki beristri lebih dari satu yang tidak memiliki kecenderungan (rasa cinta) terhadap salah satu istrinya. Fenomena ini sangat memicu lahirnya pertentangan dan keresahan dari pihak wanita, sehingga menimbulkan tumpangtindih dalam kehidupan para manusia. Sebab, rasa cinta tidak dapat terbagi-bagi. Yang lebih dipermasalahkan lagi, para penyongsong poligami berasumsi bahwa ayat ini memperbolehkan atau menganjurkan kaum laki-laki untuk tidak setia. Padahal, Islam dalam melahirkan syari’ah sangat memperhatikan pelestarian mashlahat para mukallaf di dunia dan akhirat.

Akhirnya, pihak yang kontra menganggap konsep pernikahan Islam atau ayat Al-Qur’an di atas tidak relevan dengan konsep pelestarian mashlahat mukallaf yang telah mengkristal sebagai maqashid syari’ah. Bahkan, berseberangan dengan karakteristik agama Islam, yaitu agama salam atau perdamaian.

Pada dasarnya, problematika demikian, poligami adalah sebuah rukhsah atau dispensai Islam. Teropong Fiqh yang hanya menjangkau aspek lahir, menilai kecenderungan rasa cinta sebagai aspek bathin. Sehingga, prasyarat keadilan dalam konsep poligami hanya menyentuh perihal pembagian jatah (nafaqah bathin) dan kebutuhan hidup (nafaqah lahir). Kewajiban dalam pembagian jatah-pun, masih di bawah kadar kemampuan seorang suami. Memang, semuanya ini tergolong aspek lahir.

Dengan demikian, tolak ukur perasaan cinta terbilang aspek bathin, dalam hukum Fiqh. Karena satu sisi menganggapnya keluar dari kadar kemampuan dan sisi lain Fiqh tidak begitu memperhatikannya. Parameter ini yang menjadikan Fiqh menyebutnya aspek bathin dan satu hal yang dima’fu atau dispensasi.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

            “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Nisaa’: 129)

Muara objek ayat ini ialah cinta dan kecenderungan perasaan, menurut tafsir Ibn ‘Abbas. Terbentuknya hukum poligami berangkat dari hadits:

رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

Dengan populasi wanita lebih banyak daripada populasi laki-laki pada zaman akhir, sehingga bunyi hadits ini mengilustrasikan 50 wanita banding 1 laki-laki, konsep poligami diklasifikasi dalam kaedah al-masyaqqah tajlibu al-taisir. Artinya, konsep pernikahan “laki-laki memiliki hak porsi empat istri” termasuk rukhsah lantaran dampak masyaqqah yang akan terjadi. Kesulitan atau masyaqqah-nya terletak pada bahwa laki-laki memiliki kesulitan tidak dapat menahan gairah jima’nya di saat ia memiliki satu istri yang sedang mengalami haidl, sehingga diperbolehkan beristri empat. Sedangkan kesulitan bagi kaum wanita, diperkirakan tidak dapat memiliki pasangan atau akan terlantarkan, seandainya seluruh kaum laki-laki beristri satu. Karenanya, terdorong mendatangkan sebuah rukhsah, legitimasi hukum poligami.

Selain itu, Islam membangun hukum poligami bukan sia-sia, melainkan terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik di sana. Di antaranya ialah:

  1. Pada umumnya, laki-laki pada umur 80 tahun masih bisa berproduksi, namun perempuan hanya sampai memasuki umur 55 tahun sudah mengalami masa menopause.
  2. Dapat memperbanyak keturunan dan generasi Islam.
  3. Kemaslahatan rumah suami akan lebih terjaga dengan istri yang lebih dari satu.

Akan tetapi, seluruh pemaparan di atas, baik yang mengenai konsep keadilan dalam poligami dan yang perihal hikmah laki-laki berhak porsi empat istri, masih belum menyentuh dilema kecenderungan perasaan yang diberatkan oleh pihak kaum wanita. Karakter Fiqh yang hanya menjangkau aspek lahir membuatnya menilai aspek bathin sebagai hal yang dima’fu. Para pakar Fiqh-pun telah sepakat dengan maqalah:

الفقه يحكم بالظواهر لا يحكم بالبواطن

Sehingga, dilema semacam ini sangat memerlukan sebuah bidang ilmu yang dapat menjangkaunya, yaitu Tasawuf. Bagaimana Tasawuf menjawabnya?

Tasawuf sendiri mengakui bahwa cinta adalah sebuah perasaan yang dapat meleburkan segala yang selain dicintai, sebagaimana ungkapan syekh al-Syibly. Bahkan, Abu Abdullah al-Qursy menegaskan bahwa hekakat cinta adalah menyerahkan segala dirinya kepada yang dicintainya, sehingga tidak tersisa sepersen-pun yang dimilikinya.

Rasa cinta yang istimewa dan totalitas seharusnya tertuju kepada yang selayaknya, yaitu Allah Ta’ala. Menurut syekh al-Junaid, cinta kepada Allah Ta’ala ialah menyerahkan segala diri seseorang dan mengunggulkan-Nya dari diri sendiri dan segala yang dimilikinya, termasuk istri-istrinya. Syekh al-Jilany juga mempertegas jikalau cinta yang sehendaknya kepada Allah Ta’ala bercerai-berai lantaran cintanya yang berlebihan kepada anak atau keluarga, maka kekuasaan-Nya yang akan bertindak. Allah Ta’ala adalah Yang Maha Cemburu. Jika segala yang menghalangi kekasih-Nya telah ditiadakan dari hatinya dan ia bersabar, ia akan mendapatkan keutamaan dan segala yang ditiadakan akan kembali tanpa mempengaruhi cintanya kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaannya akan merata di dunia dan akhirat. Sangat jelas dalam Adab al-Suluk, judul babnya berbunyi tidak ada cinta kecuali milik Kekasih Yang Maha Esa.

Maka, jika totalitas cinta kaum laki-laki yang beristri empat telah terpendam dan menajam kepada Allah Ta’ala, mereka tidak akan mengalami kecenderungan perasaan yang meresahkan istri-istri mereka. Karena semua istrinya mendapatkan porsi keadilan yang sama, yaitu mendapatkan kasih sayang dan kemesraan. Dengan demikian, kaum laki-laki akan melakukan keadilan dhahiran wa bathinan. Sedangkan kaum wanita juga menerima fenomena poligami dengan lapang dada, karena suami mereka yang tidak bercenderung pada satu pihak dan tidak mengunggulkan salah satu istri-istrinya.

Namun, bukankah seseorang yang telah dikuasai oleh cinta kepada Allah Ta’ala tidak berkehendak untuk menikah, apalagi berpoligami? Cinta atau mahabbah juga disebut sebuah perasaan yang saling merasakan antara dua belah pihak, selaras dan kecocokan. Jika cinta terobjek kepada Allah Ta’ala, maka rasa cinta tersebut akan mendorongnya untuk bertindak segala yang sesuai ridlo-Nya. Ia tidak akan merusak pranata hukum keadilan dan hukum hikmah dalam berpoligami yang merupakan syari’at-Nya.

Di sisi lain, diungkapkan bahwa seseorang yang semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin tinggi pula tingkat kesyawatannya. Memang, syahwat adalah fitrah kemanusiaan yang dianugerahkan oleh Tuhan dan tidak dapat dihilangkan, namun dapat dikendalikan. Alasan terbangunnya statement ini, perspektif al-Qurthubi ialah syahwatnya seseorang yang shalih justru lebih menggumpal. Karena ia tidak pernah menuruti gairah syahwatnya. Sehingga, ia terdorong untuk menikah yang merupakan jalan satu-satunya yang dapat mengobati syahwatnya yang telah menginfeksi, secara halal. Didukung oleh Abu Bakr al-Warraq, bahwa segala syahwat apapun dapat memperkeras hati, kecuali jima’. Jadi, dorongan menikah bagi orang orang-orang shalih sangat berbeda dari yang lain.

Sumber: Hasil Kalam (Kajian Literasi Antar Literasi) komunitas hikam

HIKAM.ID

Komunitas HIKAM. Sekolompok mahasantri pesantren Al Fithrah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *